Jakarta, FORTUNE – Transisi energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) dapat mendorong geliat perekonomian masyarakat. Pengamat energi sekaligus Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan, transisi energi bisa memberikan dampak turunan termasuk penciptaan lapangan kerja.
“Transisi energi bisa menciptakan kesempatan membangun industri baru dan rantai pasok baru, serta peluang tenaga kerja hijau dari proyek-proyek energi terbarukan. Paling tidak untuk setiap 1 GW PLTS atap yang terpasang, dapat menyerap 20 ribu tenaga kerja,” ujar Fabby kepada Fortune Indonesia, Selasa (5/4).
Oleh karena itu, Indonesia tidak perlu ragu untuk melangkah dalam transisi energi. Hal ini didukung oleh pemerintah yang semakin gencar mendorong terwujudnya berbagai ekosistem berenergi ramah lingkungan, mulai pemanfaatan PLTS Atap hingga penggunaan kendaraan listrik.
Daya beli masyarakat yang rendah jadi tantangan
Namun demikian, Fabby juga mengakui bahwa saat ini daya beli masyarakat yang masih rendah jadi tantangan tersendiri pada penerapan EBT. “Realitanya, sebagian besar masyarakat Indonesia belum mampu membeli teknologi tersebut. Jadi, pemerintah bisa memberikan insentif untuk membuka pasar,” ujarnya.
Sebagai contoh, pemerintah bisa memberi diskon yang ditanggung pemerintah terkait penerapan teknologi PLTS Atap di masyarakat luas, atau pendanaan kredit berbunga rendah dengan tenor yang panjang (7-10 tahun).
“Insentif lain misalnya pembelian carbon credit di depan untuk jangka waktu 10-15 tahun, kemudian carbon credit ini bisa dipakai sebagai down payment,” ucapnya.
Penggunaan EBT sangat penting bagi Indonesia
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan Indonesia dianugerahi sumber energi yang cukup beragam dan kaya. EBT dibutuhkan untuk masa depan yang lebih baik.
“EBT menjadi sangat penting bagi negara kami. Aktivitas dari program (road map menuju Net Zero Emission di 2060) yang kita jalankan akan menciptakan aktivitas perekonomian di Indonesia," ujarnya saat menjadi pembicara dalam The 8th Berlin Energy Transitions Dialogue (BETD) di Jerman, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Selasa (5/4).
Komitmen kuat Indonesia
Dalam upaya peralihan menuju penggunaan EBT, Menteri Arifin menyampaikan Indonesia berkomitmen kuat untuk mengganti peran batu bara yang masih memenuhi 38 Gigawatt (GW) pembangkit listrik dari total 72 GW yang dibutuhkan masyarakat. Momet COP-26 dan pemilihan transisi energi sebagai isu utama dalam presidensi G20, menjadi bukti kuat.
“Dalam proses mempensiunkan batu bara, tentu terdapat beberapa tantangan, terutama dari sisi pekerja dalam sektor tersebut yang cukup besar, sehingga perlu dipersiapkan program bagaimana para pekerja dapat survive setelah sektor energi tersebut berkurang. Bagaimanapun, transisi energi juga perlu ditinjau dari aspek sosial," kata Arifin.
Namun demikian, pemberhentian pembangkit listrik berbahan batu bara tetap akan dilakukan secara bertahap. "Salah satu strategi yang diterapkan Indonesia adalah target capaian bauran energi sebesar 25% di tahun 2025. Sekarang sudah mencapai 11,7% persen," tutur Arifin.