Jakarta, FORTUNE – Serangam masif Israel ke jalur Gaza dan wilayah lain di Palestina selama tiga bulan terakhir telah membawa konsukensi buruk bagi perekonomian negara berlambang bintang David itu. Hal ini terjadi ketika beberapa industri mendapatkan investasi baru.
Mengutip Al Jazeera, sejak Oktober, pemerintah Israel telah mensubsidi gaji 360.000 tentara cadangan yang dikerahkan ke Gaza.
Pada November, Bank of Israel memperkirakan ‘dampak buruk’ Perang terhadap Israel sebesar 198 miliar shekel (US$53 miliar atau sekitar Rp838.16 triliun – kurs Rp15.814,37 per dolar AS). “Menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi menjadi 2 persen per tahun untuk tahun 2023 dan 2024, masing-masing turun dari 2,3 persen dan 2,8 persen,” tulis berita itu, Sabtu (27/1).
Sementara itu, pada Desember, Kementerian Keuangan Israel mengatakan bahwa perang kemungkinan akan merugikan Israel sekitar US$13,8 miliar atau sekitar Rp218,24 triliun pada tahun ini, jika fase intensitas tinggi berakhir pada kuartal I 2024.
Penurunan pendapatan
Al Jazeera melaporkan, sekitar 20 persen masyarakat Israel mengalami penurunan pendapatan rumah tangga yang cukup besar, sejak Perang Gaza kembali terjadi di tahun 2023.
Bahkan, organisasi bantuan ‘Latet’ yang berarti ‘memberi’, mencatat lebih dari 45 persen masyarakat khawatir akan kesulitan ekonomi yang menanti mereka di masa depan, baik saat perang ini atau setelah perang selesai.
Kolumnis teknologi dan penasihat startup yang berbasis di Beit Shemesh, Israel, Hillel Fuld, mengatakan bahwa saat ini sulit untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran para politisi Israel. “Netanyahu dan pemerintahannya menghadapi tekanan diplomatik global yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengakhiri perang, sementara faktor ekonomi dari perang tersebut kurang dapat perhatian dalam pengambilan keputusan,” katanya kepada Al Jazeera.
Sektor terdampak
Dari segi bisnis, sektor ekonomi yang paling menderita di tengah perang Gaza adalah pariwisata.
Bahkan, sebelum perang terjadi, sektor ini sudah terhantam badai pandemi Covid-19, di mana 2,6 persen sumbangan pada Pendapatan Domestik Bruto (PCB) 2019, turun sampai 1,1 persen pada 2021.
Setelah serangan Hamas ke Israel selatan dan meletusnya perang di Gaza, banyak maskapai penerbangan membatalkan atau menangguhkan sebagian besar penerbangan mereka ke Tel Aviv, dan banyak wisatawan membatalkan rencana mereka untuk mengunjungi Israel.
Padahal, sebelum Operasi Banjir Al Aqsa, pengunjung ke Israel berjumlah di atas 300.000 setiap bulan, tapi pada November, angka ini turun menjadi 39.000. “Perang tidak hanya tragis, tapi juga mahal. Dampaknya terhadap pariwisata, misalnya, sangat nyata dan tidak bisa diabaikan,” kata Fuld.
Sementara itu, industri konstruksi dilaporkan mengalami pukulan besar juga sejak perang Gaza dimulai. Proyek konstruksi telah dihentikan sejak bulan Oktober dan Israel membekukan izin pekerja tanpa batas waktu bagi warga Palestina yang merupakan 65-70 persen tenaga kerja di sektor konstruksi Israel. Akibatnya, industri di Israel dan perekonomian Tepi Barat terkena dampak yang sangat besar.
Teknologi bertahan
Meski terjadi penurunan, salah satu industri yang cukup berkembang di masa Perang Gaza 2023 lalu adalah sektor teknologi tinggi. Sejak tahun 1990-an, sektor ini memang disebut sebagai salah satu ujung tombak perekonomian, bahkan Israel pernah mengeklaim sebagai pusat teknologi kedua terbesar di dunia, setelah Silicon Valley, dengan lebih dari 500 perusahaan multinasional–seperti Google, Apple, Meta, Microsoft, IBM, atau Intel–yang beroperasi di negara itu.
Fuld menceritakan bagaimana pada bulan Desember, perusahaan chip AS, Intel Corp, mengonfirmasi rencana untuk membuat pabrik baru senilai US$25 miliar atau Rp395,38 triliun di wilayyah Israel Selatan.
Dengan hibah sebesar US$3,2 miliar dari pemerintah Israel, rencana investasi Intel merupakan dorongan besar bagi sektor teknologi Israel di tengah perang ini. “Startup Israel berhasil mengumpulkan US$1,5 miliar, dan dari kesepakatan tersebut, pendanaan awal yang berisiko tinggi mencapai US$220 juta dalam 31 putaran,” katanya.
Meski begitu, kepercayaan dan rasa aman bagi para investor serta pengusaha tetap menjadi sebuah tantangan. Peneliti utama dan ketua program kebijakan ekonomi di Taub Center for Social Policy Studies, Benjamin Bental, menyebutkan, “Selain hasil militer dan politik yang jelas baik di Jalur Gaza dan di sepanjang perbatasan Lebanon, serta repatriasi para sandera, hal ini memerlukan kebijakan ekonomi yang jelas dan berorientasi pada tujuan.”