Jakarta, FORTUNE – Lembaga kajian energi global asal Eropa, EMBER, menilai transisi energi bersih di Indonesia berpotensi diterapkan seiring sumber energi yang melimpah. Namun, pengoperasian sistem ketenagalistrikan di bawah PT PLN justru menghambat Indonesia beradaptasi dengan penetrasi tinggi energi terbarukan, khususnya tenaga surya dan bayu.
Analis Listrik Asia dari EMBER, Achmed Shahram Edianto, mengatakan dalam kasus di Indonesia, penerapan dekarbonisasi ketenagalistrikan sangat bergantung pada ambisi politik. Keberhasilan sektor lain untuk mencapai NZE (Net Zero Emission) pada 2050 pun dinilai bergantung pada keberhasilan sektor ketenagalistrikan mencapai dekarbonisasi pada 2040.
“Indonesia mampu mewujudkan dekarbonisasi pada 2040 dan menyediakan pasokan energi berkelanjutan, terjangkau, dan tetap menjamin ketahanan energi nasional. Untuk mencapai hal ini, diperlukan integrasi antara visi pemerintah, komitmen politik, dan strategi implementasinya,” ujar Achmed dalam keterangan pers yang diterima Fortune Indonesia, Selasa (20/9).
Potensi teknis yang dimiliki tenaga surya dan bayu di Indonesia cukup besar, masing-masing sekitar 1.462 GW dan 500 GW.
Tantangan dari PLN
Pada edisi ketigabelas di bulan Agustus 2022, majalah Fortune Indonesia menulis artikel tentang berbagai tantangan yang dihadapi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap (PLTS Atap) di Indonesia. Baik bisnis di sektor PLTS Atap maupun masyarakat sebagai penggunanya sebenarnya sudah siap untuk segera beralih ke EBT. Peraturan untuk mendukung kebijakan ini pun sudah disiapkan–Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Sayangnya, PLN tidak setuju pada proses penetapan besaran ketentuan ekspor listrik yang mencapai 100 persen. Alih-alih menyetujui Permen ESDM yang baru, PLN justru mulai menerapkan pembatasan baru 10-15 persen kepada para pelanggan yang berminat menggunakan PLTS Atap.
“Alasan PLN adalah over capacity terkait proyek 35.000 MW dan yang kedua adalah Permen PLTS Atap ini disinyalir PLN bisa membuka kesempatan bagi orang untuk menjadi IPP terselubung, yang menggunakan PLTS Atap, lalu listriknya tidak dipakai sendiri, melainkan dia jual ke PLN,” kata Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), sekaligus Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa (7/7).
Tanggapan Kementerian ESDM dan PLN
Mengenai banyaknya keluhan masyarakat dan pelaku usaha PLTS Atap, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan PLN berhak melakukan evaluasi untuk menjamin keandalan sistem setiap permohonan pemasangan PLTS Atap.
“Kementerian ESDM bersama PLN, saat ini sedang menyusun Petunjuk Teknis Pelaksanaan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, untuk menjadi pegangan semua pihak dalam pelaksanaan implementasi PLTS Atap. Diharapkan tidak ada lagi perbedaan dalam pelaksanaan di lapangan,” ujarnya.
Sementara itu, PLN berasalan kesimpangsiuran antara regulasi dan penerapan nilai ekspor PLTS Atap di lapangan dikarenakan Permen ESDM 26 Tahun 2021 sedang dikaji ulang, untuk kemudian diterapkan dan memberikan kejelasan bagi semua pihak.
Penghentian PLTU Batubara pada 2040
Data EMBER mencatat, penurunan emisi tercepat di Indonesia ada di sektor ketenagalistrikan. Untuk itu, sebagai negara penghasil batubara terbesar di ASEAN, penghentian PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal) perlu dihentikan secara bertahap hingga 2040.
Upaya ini perlu dimulai dalam dekade ini dengan mempercepat skenario nol emisi karbon (NZE) pada 2050—bukan 2060 seperti rencana pemerintah sebelumnya. Dengan demikian, sektor tenaga listrik berbasis batubara yang dihasilkan oleh PLTU akan berkurang sebanyak 70 persen pada tahun 2030, seiring meningkatnya fleksibilitas PLTU yang berpotensi mengurangi waktu operasional PLTU dalam negeri.
Menurut EMBER, investasi tahunan sektor ketenagalistrikan harus meningkat tiga kali lipat dalam dekade ini hingga mencapai hampir US$40 miliar, dan delapan kali lipat pada dekade berikutnya menjadi sekitar US$80 miliar dibandingkan dengan periode 2010-an.
Kementerian ESDM sudah menargetkan investasi Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar US$36 miliar atau US$7 miliar per tahunnya hingga 2025, namun jumlah tersebut dinilai belum cukup dan perlu ditingkatkan menjadi US$20 miliar per tahun hingga 2030. Investasi pun perlu diarahkan secara khusus untuk pengembangan tenaga surya dan bayu, diikuti oleh investasi teknologi jaringan (grid) yang fleksibel.
Manfaat yang didapat
Hasil kajian EMBER menunjukkan, sejumlah manfaat yang jelas akan didapatkan dari investasi untuk mempercepat NZE di sektor ketenagalistrikan Indonesia pada 2040. Dengan menggunakan EBT, biaya energi listrik akan turun. Investasi energi bersih memang cukup besar, tapi akan membayar imbal hasil jangka panjang dalam bentuk biaya bahan bakar yang lebih rendah.
Selain itu, sekitar 500.000 lapangan kerja hijau pun akan tercipta di sektor energi. Dari jumlah ini, sekitar 265.000 akan berasal dari sektor ketenagalistrikan. Oleh karena itu, kata EMBER, Kebijakan transisi energi yang adil akan sangat penting untuk memastikan inklusivitas dan mengurangi risiko proses transisi.