Jakarta, FORTUNE – Perusahaan komunikasi global, Edelman, membagikan studi yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik dan pandangan Politik membentuk perilaku Konsumen dan mempengaruhi pembelian terhadap sebuah Brand.
Managing Director Edelman Indonesia, Nia Pratiwi, mengatakan bahwa survei yang dilakukan terhadap 1.000 responden di 34 Provinsi di Indonesia pada April 2024, menunjukkan adanya tren perilaku konsumen untuk mendukung, membeli, atau bahkan menghindari suatu merek berdasarkan pandangan politik dan nilai sosial tertentu yang dianut oleh merek serta sikap merek terhadap isu sosial.
“Temuan kami menunjukkan bahwa mayoritas konsumen di Indonesia mengekspresikan pandangan politik mereka melalui pilihan brand atau produk, menunjukkan adanya polarisasi dalam perilaku konsumen yang perlu diperhatikan oleh setiap brand,” kata Nia dalam keterangan resmi, Kamis (17/10).
Menurut survei, sebanyak 81 persen responden menyatakan khawatir terhadap hasil pemilihan umum (Pemilu). Kekhawatiran ini juga tercermin dalam cara mereka memandang merek yang dianggap memiliki pandangan politik atau yang tidak mengambil sikap jelas berisiko dihindari atau diboikot.
Selain itu, terdapat juga peningkatan pada nasionalisme merek dan mencerminkan suatu kondisi di mana konsumen lebih memilih merek dan produk berdasarkan negara asal dari sebuah brand. Laporan menunjukkan bahwa 73 persen responde kini lebih sering membeli merek lokal dibandingkan setahun yang lalu, dan 58 persen memboikot merek yang mendukung salah satu pihak dalam konflik Israel-Hamas.
Temuan lain menunjukkan, generasi muda (18-34 tahun) merasa terhubung dengan orang lain yang menggunakan brand yang sama–mencapai 69 persen-dibandingkan responden yang berusia lebih senior (35-54 tahun) sebesar 58 persen. Dari responden muda ini, hampir setengahnya (49 persen) mengaku bahwa mereka menilai orang lain berdasarkan pilihan brand-nya.
Tuntutan pada brand
Nia mengungkapkan bahwa dengan temuan ini, terlihat bahwa publik di Indonesia menuntut brand untuk mengambil sikap pada isu kontroversial atau politis saat berada di bawah tekanan. Responden mengharapkan brand untuk melakukan lebih banyak dalam isu seperti perubahan iklim (33 persen), upah yang adil (28 persen), dan pelatihan ulang (retraining) tenaga kerja (26 persen).
Sementara itu, jika sebuah brand tidak mengomunikasikan sikapnya dalam penanganan berbagai isu yang merebak di tengah masyarakat, sebanyak 55 persen responden Indonesia menganggap merek tersebut tidak melakukan apa-apa atau menyembunyikan sesuatu.
“Brand yang memilih untuk tetap diam pada isu sosial dan politik yang mendesak, atau yang gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen yang menuntut transparansi dan advokasi oleh brand, dianggap sebagai bagian dari masalah dan berisiko kehilangan kepercayaan konsumen,” kata Nia.
Konsumen kini juga lebih detail dan kritis memperhatikan setiap keputusan dari brand, yang kini memberikan implikasi politik yang lebih besar dari sebelumnya. “Temuan kami mengungkapkan bahwa tindakan paling sederhana oleh sebuah merek sekalipun, seperti pemilihan influencer dan perekrutan karyawan yang beragam, juga dapat dianggap sebagai pernyataan politik,” ujarnya.