Jakarta, FORTUNE – Selayaknya pergerakan saham, survei Elektabilitas ketiga Calon Presiden (Capres) Indonesia yang dilakukan oleh media Inggris, The Economist, kembali mengalami perkembangan dan pergerakan yang cukup menarik.
Grafik intensitas voting ketiga Capres, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, per 28 Januari 2024 kembali mengalami pergerakan dengan torehan elektabilitas masing-masing sebesar 20 persen, 53 persen, dan 19 persen. Pada periode survei sebelumnya di 16 Januari, elektabilitas Prabowo masih tercatat 49 persen, diikuti Anies 24 persen dan Ganjar 21 persen.
Dalam laporan yang berjudul ‘Who will be the next president of Indonesia?’ dan terakhir diperbarui Jumat (2/2), The Economist juga menjelaskan batas bawah dan atas dari setiap polling capres yang didapatkan.
Dari data tersebut, Prabowo Subianto berada di urutan pertama dengan rerata median 53 persen, batas bawah 49 persen dan batas atas 57 persen. Anies Baswedan menyusul di posisi kedua dengan rerata 20 persen, memiliki batas bawah 14 persen dan batas atas 27 persen.
Sementara itu, di posisi ketiga, Ganjar Pranowo tercatat memiliki rerata 19 persen dan batas bawah 16 persen, serta 23 persen untuk batas atasnya.
Gerak dinamis
Dalam survei The Economist yang dilakukan sejak awal 2023, angka 53 persen merrupakan elektabilitas tertinggi yang pernah dicapai Prabowo. Sementara bagi capres Ganjar, 19 persen adalah titik terendah yang tercatat. Adapun, Anies Baswedan elektabilitas tertinggi yang pernah dicapainya ialah 25 persen (per akhir 2023-awal 2024) dan yang terendahnya 19 persen per 8-12 September 2023.
Elektabilitas para capres yang dicatat The Economist hingga kini masih tetap dinamis. Kantor berita tersebut juga memperkirakan bahwa jumlah pemilih dalam Pemilu Indonesia 2024 akan tinggi. “Di antara (sekitar) 204 juta warga Indonesia yang memenuhi syarat di negara kepulauan yang luas dengan (kurang lebih) 14.000 pulau berpenghuni. Indonesia adalah negara demokrasi yang muda dan antusias,” tulis The Economist.
Gambaran metodologi
Meski tak menyebut bagaimana metodologi dan cara pemilihan respondennya, namun The Economist pernah menuliskan bagaimana mereka melakukan jajak pendapat di Amerika Serikat, dengan bekerja sama dengan lembaga survei YouGov, sebagai gambaran.
Pada artikel tersebut, The Economist mengeklaim menggunakan lebih dari 10.000 orang yang bersedia untuk menjadi responden pada survei yang dibuat. Adapun para responden direkrut melalui tiga cara:
- Melalui email ke orang-orang dari daftar email komersial, dan mengundang mereka untuk bergabung dalam panel—menetapkan hadiah dan pembayaran serta ketelitian akademis dengan mana penelitian itu akan dilakukan.
- Melalui periklanan, pada prinsipnya menggunakan Google dan Overture, yang didalamnya terdapat iklan ditempatkan pada berbagai macam kata kunci non-politik—misalnya, kata-kata yang berhubungan dengan berkebun mengundang orang untuk bergabung dalam jajak pendapat berhadiah tentang berkebun. Di akhir responden survei ditanya apakah mereka ingin bergabung dengan panel yang lebih luas survei dengan insentif tunai dan hadiah lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk merekrut responden dari berbagai latar belakang dan kepentingan.
- Menghubungi orang-orang yang pernah mengikuti YouGov sebelumnya, dengan proyek yang sampelnya mencakup responden di luar United Kingdom (UK). Mereka yang memberi tahu kami bahwa mereka tinggal di Amerika adalah orang-orang yang sudah diundang.
Menurut The Economist, para responden yang bergabung berasal dari latar belakang yang sangat beragam, baik secara demografi dan informasi lainnya. Sampel yang seimbang dipilih dari panel untuk setiap survei.
Survei umumnya mencakup topik non-politik dan juga politik. Data diberi bobot berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, dan pendapatan.
“Kami juga melacak dan menimbang berdasarkan suara yang dilaporkan responden sebelumnya. Pembobotan untuk hal ini tidak didasarkan pada hasil aktual namun pada angka yang disesuaikan berdasarkan penelitian kami mengenai recall voting,” tulis The Economist.