Jakarta, FORTUNE – Seiring dengan meningkatnya desakan untuk meredam dampak perubahan iklim, dorongan untuk menjalankan praktik ekonomi hijau kian mengemuka. Namun, masalahnya, ekonomi hijau tak sejalan dengan kesadaran masyarakat akan kesetaraan gender. Padahal keduanya sama-sama menjadi bagian dari tujuan pengembangan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Menyitir Fortune.com (19/11), sejumlah peneliti mengadakan studi tentang siapa yang akan lebih diuntungkan oleh keberadaan ekonomi hijau dilihat dari kacamata kesetaraan gender. Studi ini pun didasarkan atas berbagai temuan yang didapatkan Boston Consulting Group (BCG).
Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa ekonomi hijau akan menghadirkan sejumlah peluang besar dan berpotensi meningkatkan kemakmuran. Sayangnya, dilihat dari tingkat kesetaraan gender, perempuan diprediksi akan kehilangan banyak. Sebab, 75 persen pekerjaan ramah lingkungan pada 2030 akan dikuasai oleh kaum pria.
Kehadiran perempuan justru dinilai memperkuat ekonomi hijau
Hasil ini cukup kontradiktif. Pasalnya, penelitian BCG tersebut juga menyebutkan bahwa kehadiran kaum perempuan dalam struktur pembangun ekonomi hijau dinilai akan menghasilkan lebih banyak formasi dan inovasi usaha kecil.
Hal ini semakin kuat dengan perkiraan para analis BCG, bahwa ukuran keseluruhan ekonomi hijau dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahunan global akan meningkat hingga US$1,5 triliun. Syaratnya, masalah kesenjangan gender dalam ekonomi hijau terselesaikan. “Mendukung wirausahawan wanita dalam teknologi hijau akan menambah US$500 miliar hingga US$600 miliar ke PDB global setiap tahun pada 2030,” demikian BCG dalam laporannya.
Jumlah pekerjaan di bidang teknis yang masih didominasi kaum laki-laki
Penelitian ini mengungkapkan bahwa ketimpangan gender dalam menerapkan ekonomi hijau terjadi justru ketika jumlah pekerjaan ramah lingkungan semakin meningkat. Bidang sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM) akan mendominasi berbagai upaya dalam menangani isu perubahan iklim. Sayangnya, pekerjaan-pekerjaan teknis ini ternyata masih didominasi pekerja laki-laki.
Padahal, kaum perempuan memegang 29 persen dari sekitar 88 juta pekerjaan ramah lingkungan di planet ini. Pada saat jumlah pekerjaan tersebut naik menjadi 155 juta, porsi pekerja perempuan justru akan berkurang sampai pada 25 persen.
"Dengan mempertimbangkan dampak pada partisipasi perempuan dalam pekerjaan ramah lingkungan dan keterampilan ulang, kami memproyeksikan bahwa partisipasi angkatan kerja perempuan secara global mungkin akan menurun dan ketidaksetaraan upah akan meningkat karena perempuan diturunkan ke pekerjaan berketerampilan lebih rendah," begitu isi laporan BCG.
Sejumlah temuan lain yang berhubungan dengan isu kesetaraan gender
Selain berfokus pada penelitian tentang ketimpangan gender yang berpotensi muncul saat ekonomi hijau mulai berjalan di seluruh dunia, BCG juga menemukan sejumlah fakta angka yang cukup menarik. Misalnya, perkiraan jumlah investasi ‘hijau’ secara global pada 2050 akan berkisar antara US$100 triliun-US$150 triliun.
Lebih jauh, studi BCG juga memprediksi bahwa jumlah pekerjaan baru yang akan tercipta oleh ekonomi hijau akan mencapai 67 juta pada 2030. Sayangnya, hanya 25 persen pekerjaan saja yang dapat dipegang oleh kaum perempuan. Berbagai strategi aksi perubahan iklim pun dipandang tidak ramah gender, bahkan dapat memperlambat upaya penyetaraan gender hingga 15–20 tahun.