Jakarta, FORTUNE - Situasi hubungan Tiongkok dan Taiwan semakin memanas. Provokasi terakhir Tiongkok berwujud pengiriman 56 pesawat Tiongkok ke zona pertahanan udara Taiwan, pada Senin (4/10). Angkatan udara Taiwan pun bergegas untuk memperingatkan para penyusup dan sistem rudal dikerahkan memantau mereka.
Taiwan melaporkan 148 pesawat angkatan udara Tiongkok beterbangan di bagian selatan dan barat daya zona pertahanan udaranya (ADIZ) sejak Jumat dan berlangsung hingga empat hari. Jumat (1/10) adalah adalah hari libur patriotik utama Tiongkok, Hari Nasional.
Mengutip Reuters (5/10), Tiongkok mengklaim Taiwan sebagai wilayahnya sendiri yang dapat diambil secara paksa jika perlu. Sebaliknya, Taiwan merasa sebagai negara merdeka dan akan mempertahankan kebebasan dan demokrasinya. Mereka pun menyalahkan Tiongkok atas ketegangan tersebut.
Perdana Menteri Taiwan, Su Tseng-chang, mengatakan negaranya perlu memperkuat diri dan semakin bersatu. "Taiwan harus waspada. Tiongkok semakin di atas. Dunia juga telah melihat pelanggaran berulang Tiongkok terhadap perdamaian regional dan tekanan terhadap Taiwan," katanya di Taipei.
Senada dengan Tseng-chang, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen segera memprioritaskan modernisasi angkatan bersenjata. Ia mengatakan jika sampai Taiwan jatuh ke tangan Tiongkok, maka bencana bagi perdamaian Asia pun akan terancam.
“Taiwan tidak mencari konfrontasi militer, tetapi jika demokrasi dan cara hidupnya terancam, Taiwan akan melakukan apa pun untuk mempertahankan diri," ujar Tsai Ing-wen.
Konflik AS-Tiongkok yang memanas
Berada di belakang Taiwan, negara adidaya Amerika Serikat (AS) mendesak Tiongkok untuk menghentikan kegiatan militer yang dianggap ‘provokatif’. Departemen Pertahanan AS menyampaikan bahwa aktivitas militer Tiongkok di dekat Taiwan mengganggu stabilitas dan meningkatkan risiko salah perhitungan.
"Komitmen kami (AS) untuk Taiwan sangat kuat dan berkontribusi pada pemeliharaan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan dan di dalam kawasan," katanya dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters.
Menanggapi pernyataan AS, Kementerian Luar Negeri Tiongkok pun bereaksi. Mereka menyatakan bahwa AS yang sebenarnya bertindak provikatif dan merusak perdamaian regional. Mereka menuduh AS menjual senjatanya ke Taiwan, berikut kapal perang yang sering berlayar secara berkala di sekitar Selat Taiwan.
"Terlibat dalam kemerdekaan Taiwan adalah jalan buntu. Tiongkok akan mengambil semua langkah yang diperlukan dan dengan tegas menghancurkan setiap plot kemerdekaan Taiwan. Tekad dan keinginan Tiongkok untuk mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas teritorial tidak tergoyahkan," begitu Kementerian Luar Negeri Tiongkok menyatakan.
Banyak negara dukung Taiwan
Selain AS, sejumlah negara pun mulai menyatakan dukungan terhadap Taiwan. Jepang mengatakan sedang mengamati situasi dengan cermat dan berharap Taiwan dan Tiongkok dapat menyelesaikan masalah melalui pembicaraan baik-baik. "Jepang percaya bahwa sangat penting bagi situasi di sekitar Taiwan untuk menjadi damai dan stabil," kata Menteri Luar Negeri Toshimitsu Motegi di Tokyo (5/10).
Departemen Luar Negeri Australia mengatakan juga prihatin dengan meningkatnya serangan udara Tiongkok. "Penyelesaian perbedaan atas Taiwan dan masalah regional lainnya harus dicapai secara damai melalui dialog dan tanpa ancaman atau penggunaan kekuatan maupun paksaan," katanya.
Sementara itu, kapal induk USS Ronald Reagan memasuki Laut Cina Selatan sejak akhir September. Kementerian pertahanan Jepang mengatakan bahwa kapal itu, bersama dengan kapal induk USS Carl Vinson, telah melakukan latihan gabungan multinasional di perairan barat daya Okinawa.
Bersama dengan kapal-kapal AS dan Jepang, armada Inggris, Belanda, Kanada, dan Selandia Baru pun ambil bagian dalam latihan tersebut. Reuters menuliskan bahwa pesawat Tiongkok yang beterbangan di langit Taiwan pada Senin bertujuan untuk melakukan serangan simulasi terhadap armada ini.
Tekanan psikologis yang dianggap gagal total
Mengutip The Independent (5/10), beberapa analis mengungkapkan bahwa masyarakat Taipei berpikir bahwa tindakan agresif Tiongkok akan membingungkan dan bertujuan untuk menebar ketakutan akan perang yang terus-menerus.
“Ancaman telah berkembang dari waktu ke waktu dengan peningkatan kapasitas militer Tiongkok. Penting untuk diingat dampak psikologisnya terhadap penduduk Taiwan. Ini mirip seperti ancaman perang nuklir saat Perang Dingin,” kata Dafydd Fell, Direktur Pusat Studi Taiwan SOAS.
Terlepas dari kebijakan dan retorikanya yang suka berperang sejak ia menjadi sekretaris partai dan Presiden Tiongkok pada 2013, Xi Jinping masih lebih memilih reunifikasi damai dengan Taiwan. Namun, pendekatan agresif pemerintahnya terhadap hubungan lintas selat dan langkah-langkah memadamkan demokrasi di Hong Kong, bukanlah strategi cerdas untuk memenangkan hati dan pikiran Taiwan.
“Kebijakan Taiwan Xi Jinping telah gagal total. Mereka gagal mendapatkan dukungan publik, dan sekutu utama mereka, partai oposisi utama di Taiwan, Kuomintang, tetap berada di hutan belantara setelah lebih dari lima tahun menentang,” kata Fell kepada The Independent.
Penduduk Taiwan sendiri, seperti diberitakan Reuters, sebenarnya telah hidup di bawah ancaman invasi sejak para tetua mereka melarikan diri ke pulau ini pada 1949, setelah kalah perang saudara dengan Partai Komunis Tiongkok. Mereka sudah terbiasa dengan ancaman Tiongkok, sehingga tidak ada tanda-tanda kepanikan di pulau itu karena peningkatan aktivitas militer, bahkan kepercayaan investor di pasar saham pun masih terjaga.