Jakarta, FORTUNE – Menindaklanjuti COP26 beberapa minggu lalu, Uni Eropa (UE) mengusulkan undang-undang deforestasi pada Rabu (17/11). Namun, kehadiran peraturan ini berpotensi mempersulit sektor pangan, industri kayu, bahkan produsen kursi mobil. Peraturan yang sedang diupayakan ini kelak mengharuskan perusahaan di Eropa untuk melakukan bisnis yang tidak mengakibatkan penebangan hutan dalam proses produksinya.
Mengutip Fortune.com (17/11), undang-undang deforestasi Uni Eropa yang masih perlu diratifikasi oleh 27 negara itu akan berdampak besar pada sektor pertanian, juga pedagang komoditas. Terdapat 6 hal utama yang akan diatur, yakni kedelai, kakao, kopi, minyak sawit, daging sapi, dan kayu. Komoditas ini juga mencakup beberapa produk olahan, seperti kulit dan mebel.
Peraturan ini diusulkan karena komisi UE memperkirakan bahwa penebangan hutan demi segelintir komoditas dapat menambah lebih dari 31,9 juta metrik ton emisi karbon ke atmosfer bumi setiap tahunnya.
Virginijus Sinkevicius, Komisaris lingkungan UE, menegaskan bahwa emisi karbon merupakan kontributor yang signifikan terhadap gas rumah kaca dan perubahan iklim. “Ini tentang tanggung jawab kita sebagai salah satu ekonomi terbesar, yang ternyata sayangnya mendorong deforestasi dan degradasi hutan di wilayah-wilayah lain,” ujarnya seperti dikutip Fortune.com, "Proposal ini sangat ambisius dan inovatif, yang belum pernah diusulkan di mana pun di dunia."
Ada pekerjaan yang sangat besar di depan
Menekan deforestasi dari rantai produk UE akan menjadi tugas yang sangat berat. Penelitian UE memperkirakan bahwa €4 miliar impor tahunan produk minyak sawit—seperti Nutella—melibatkan penebangan sekitar 67.661 hektar hutan. 65.428 hektar lahan lainnya telah ditebang untuk menanam kedelai, yang jadi faktor besar dalam deforestasi Brasil.
Terkait komoditas kulit, UE juga menargetkan item yang sering diabaikan dalam perdebatan deforestasi. Di wilayah Amazon Brasil, pohon-pohon telah ditebangi untuk membuka jalan bagi peternakan sapi, yang memasok Volkswagen, General Motors, dan Ford dengan kulit mewah untuk membuat jok mobil.
Jika aturan baru Eropa ini mulai diterapkan, maka pembuat mobil harus membuktikan bahwa peternakan mereka tidak berada di lahan gundul. Padahal, menurut SourceMap, pabrikan besar mobil dan perusahaan sepatu diam-diam telah memantau deforestasi dalam rantai pasokan mereka, setidaknya sejak 2017.
Leonardo Bonanni, salah satu pendiri dan CEO SourceMap, mengungkapkan bahwa perusahaan perlu bertanggung jawab atas apa yang terjadi dalam rantai pasokan mereka. "Ini adalah perubahan total ketika perusahaan bertanggung jawab tidak hanya untuk pemasok mereka, tetapi juga untuk pemasok dari para pemasok mereka," ujarnya.
Ursula von der Leyen, Presiden Komisi Eropa, mengumumkan bahwa blok tersebut akan menghabiskan €1 miliar untuk memulihkan dan mengelola hutan dunia, yang dia sebut ‘paru-paru hijau bumi’. Sekitar €250 juta dari uang itu akan masuk ke wilayah Cekungan Kongo di Afrika, kawasan hutan hujan tropis terbesar kedua di dunia setelah Amazon yang hutannya gundul demi perkebunan karet baru.
Masih ada ‘celah besar’
Para pemerhati lingkungan mengatakan bahwa ada 'celah besar' dalam rencana deforestasi UE, yang mereka yakini dirancang untuk menenangkan industri besar.
Kejanggalan yang paling menonjol dalam daftar komoditas usulan undang-undang deforestasi ini adalah karet—yang digunakan untuk membuat ban dalam industri otomotif raksasa Eropa. Sekitar 300 juta ban diproduksi di Eropa pada 2020. Bahkan tiga pembuat ban terbesar di dunia (Pirelli, Continental, dan Michelin) adalah perusahaan Eropa.
“Karet bukan bagian dari undang-undang UE, dan kami melihatnya sebagai salah satu celah utama dalam undang-undang ini,” kata Sini Erajaa dari Greenpeace kepada Fortune, “Pasti ada beberapa perdebatan politik tentang hal itu. Daftar komoditas sangat terbatas.”
Para ilmuwan dan pemerhati lingkungan mengatakan jutaan hektare lahan telah ditebang untuk perkebunan karet di Asia Tenggara. Kelompok lingkungan Mighty Earth mengungkap bahwa perluasan perkebunan karet telah memicu penggusuran yang meluas dan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Kamboja, Indonesia, serta beberapa wilayah lainnya.
“Ekspansi yang cepat dalam produksi karet sejak tahun 2000 telah berdampak buruk pada jutaan hektare hutan, ekosistem, habitat dan keanekaragaman hayati, serta hak asasi manusia dan mata pencaharian ratusan komunitas lokal serta adat,” tulis Mighty Earth dalam laporannya.
Masalah lain yang masih perlu dibenahi
Bulan lalu, tiga ilmuwan Swedia menyimpulkan bahwa UE telah mengeluarkan dua komoditas yang sangat berpolusi, yakni karet dan jagung, dari undang-undang tersebut. Hal ini dikarenakan penggunaan data yang salah. Mereka berpendapat, jika undang-undang UE berjalan dalam bentuk seperti saat ini, maka justru dapat merusak upaya mengekang deforestasi yang disebabkan oleh impor UE.
Erajaa mengatakan, masalah lain muncul karena tidak memasukkan daging babi atau unggas dalam undang-undang tersebut. Keduanya mengkonsumsi pakan ternak dalam jumlah besar yang ditanam di lahan gundul. Masalah yang timbul adalah perusakan lahan basah dan padang rumput yang terus-menerus di seluruh dunia, padahal hal ini penting untuk mengendalikan pemanasan global.
Di bawah undang-undang baru, kata Erajaa, perusahaan pertanian secara teori dapat memilih untuk merelokasi tanaman mereka dari lahan gundul ke daerah lain yang masih menyebabkan kerusakan lingkungan dan emisi karbon yang sama parahnya. “Hukum melakukan pekerjaan yang baik untuk melindungi hutan, tetapi produksi kedelai berkembang di daerah-daerah berharga alami lainnya,” katanya.
Lahan basah di Asia Tenggara telah dikeringkan karena jutaan hektare perkebunan kayu baru ditanam, termasuk padang rumput di Brasil yang jadi tempat tanaman kedelai berkembang pesat. “Sayangnya kami dikelilingi oleh produk-produk yang terkait dengan deforestasi,” kata Erajaa, “termasuk di lemari es kami.”