Jakarta, FORTUNE – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas bersama Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) mengadakan Dialog Penerapan Perikanan Berkelanjutan dan Terukur di Jakarta, Selasa (14/9).
“Bappenas telah menjadikan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) sebagai basis dalam pembangunan perikanan berkelanjutan yang merupakan program prioritas dalam RPJMN 2020-2024”, ujar Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas, Sri Yanti, dalam acara tersebut, seperti dikutip laman ICCTF.
Untuk menunjang perencanaan pembangunan sektor Kelautan dan Perikanan yang berbasis ilmu pengetahuan, kata Sri Yanti, Bappenas melakukan beberapa kajian ilmiah. Studi ini mulai dari bioekonomi perikanan udang di Laut Arafura (WPP 718), studi perikanan alat tangkap cantrang di perairan Utara Jawa, hingga tentang rantai pasokan tuna di WPP 713 dan 573.
Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah mengeluarkan konsep penangkapan ikan terukur dalam mengelola sumber daya perikanan guna menjaga ekosistem laut dan pesisir yang sehat dan produktif. Konsep penangkapan ikan terukur ini diharapkan mampu menjadikan Indonesia lebih makmur dari sisi ekonomi maupun sosial.
“Kegiatan ekonomi harus seimbang dengan ekologinya, sesuai arahan Pak Menteri Kelautan dan Perikanan, dimana setiap aktivitas di ruang laut harus memperhatikan kesehatan lautnya," ujar Dirjen Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini.
Bappenas temukan potensi PNPB dari perikanan udang di laut Arafura
Bappenas menemukan bahwa melalui analisis bioekonomi perikanan udang di Laut Arafura, potensi ekonomi yang tinggi dapat dicapai dengan pengendalian input. Ini berkaitan dengan jumlah maksimal kapal yang diizinkan.
Bappenas mendapati bahwa dari dua jenis tipe alat penangkapan udang yang dijadikan sampel, diperkirakan perikanan ini memperoleh manfaat ekonomi per kapal antara Rp25 milyar-Rp50 milyar per tahun. Adapun sampel ini mewakili mayoritas armada yang beroperasi, yakni armada dengan target udang putih, udang peci (banana prawn), target udang windu dan udang dogol (tiger prawn).
Untuk mencapai pemanfaatan ekonomi yang optimal, diperlukan alokasi jumlah kapal yang optimal dengan kisaran 50-70 kapal dan secara gradual dievaluasi sesuai dengan kapasitas biologi udang di Laut Arafura. Dengan alokasi tersebut, hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi Penerimaan Nasional Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh per kapal akan mencapai Rp400 juta-Rp700 juta per tahun.
“Bappenas juga ingin mendorong peningkatan PNBP dari sektor Kelautan dan Perikanan, dari studi Bioekonomi ini juga kita bisa mensimulasikan berapa potensi yang bisa diterima negara,” ujar Sri Yanti.
Bappenas gunakan pendekatan bioekonomi untuk kajian lainnya
Pendekatan bioekonomi ini juga sedang dilakukan untuk perikanan cantrang. Hal ini dilakukan saat kebijakan penggantian alat tangkap cantrang untuk meningkatkan nilai ekonomi, namun dapat merusak ekosistem laut dan mengancam keberlanjutan sumber daya perikanan karena tingkat pemilihan yang rendah.
Studi ini dilakukan secara mendalam terkait bagaimana pengelolaan yang baik untuk perikanan cantrang agar tidak menimbulkan kerusakan ekosistem, namun juga tidak menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luas.
Selanjutnya, kajian bioekonomi ini direncanakan untuk menunjang studi rantai pasokan perikanan tuna, khususnya jenis longline yang akan dimulai pada akhir 2021.
Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur KKP
Langkah pertama dalam menerapkan konsep Penangkapan Ikan Terukur, yakni mengetahui kesehatan stok ikan di setiap WPP. Kemudian, melakukan pengaturan terkait jumlah ikan yang boleh ditangkap, jumlah kapal yang menangkap, termasuk alat tangkapnya.
Muhammad Zaini mengatakan penerapan konsep penangkapan ikan terukur bertujuan untuk memeratakan ekonomi masyarakat dan daerah. Sebab, nantinya pendaratan ikan tidak lagi berpusat di Pulau Jawa, melainkan di pelabuhan-pelabuhan yang sudah ditentukan.
“Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 akan menjadi salah satu terjemahan dari penangkapan ikan terukur dalam bentuk kebijakan”, ujar Zaini.
Rekomendasi Bappenas yang menjadi dasar pembentukan kebijakan KKP
Studi Bappenas dapat menjadi model untuk pengelolaan beberapa jenis komoditas utama lainnya di 11 WPP, sehingga memberikan kepastian berusaha di bidang perikanan dengan tidak mengganggu sumber daya perikanan oleh alat tangkap tertentu seperti jaring hela berkantong.
Dengan demikian, kekhawatiran sumber daya perikanan akan habis dapat dicegah. Hasil studi ini pun mendukung kebijakan pembayaran pungutan hasil perikanan (PHP) dari sebelum produksi menjadi pasca produksi sebagai insentif bagi nelayan dan pelaku usaha perikanan untuk berproduksi lebih efisien.
“Kami sangat menyambut baik bahwa rekomendasi studi bioekonomi perikanan yang dihasilkan Bappenas dapat digunakan sebagai alat dalam pelaksanaan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur yang diinisiasi KKP,” ujar Sri Yanti.
Zaini mengatakan KKP akan memanfaatkan hasil kajian bioekonomi dari Bappenas tersebut. “Hal ini guna mewujudkan Penerapan Perikanan Berkelanjutan dan Terukur untuk dapat mewujudkan target PNBP Perikanan di 11 WPP mencapai Rp12 Triliun pada 2024,” katanya.