Jakarta, FORTUNE - COP29 atau konferensi tahunan ke-29 Conference of the Parties (COP) yang berlangsung di Baku, Azerbaijan, telah berakhir. Acara yang juga bisa disebut sebagai KTT Perubahan Iklim PBB itu diikuti nyaris oleh 200 negara dan lebih dari 70.000 peserta.
Setelah melewati dua pekan penuh negosiasi, forum itu menghasilkan kesepakatan mengenai tujuan keuangan baru untuk iklim. Besarannya dianggap mengecewakan oleh negara-negara berkembang, yakni setidaknya US$300 miliar per tahun pada 2035, meski jumlah itu meningkat tiga kali lipat dari target sebelumnya.
Bahkan, kelompok yang menyebut diri Least Developing Countries Group begitu kecewa dengan konsensus final, dengan melemparkan pernyataan keras.
"Sekali lagi, negara-negara yang paling bertanggung jawab terhadap Krisis Iklim telah mengecewakan kita. Kita meninggalkan Baku tanpa tujuan keuangan iklim yang ambisius, tanpa rencana konkret membatasi kenaikan temperatur dunia menjadi 1,5 derajat C, dan tanpa dukungan komprehensif yang sangat diperlukan untuk beradaptasi, serta untuk kehilangan dan kerugian," demikian petikan pernyataan tersebut.
Padahal, negara-negara berkembang sebelumnya telah mengajukan target pendanaan US$1,3 triliun per tahun pada 2035.
Dalam Media Briefing COP-29, Selasa (3/12), Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, menjelaskan bahwa selain pendanaan, COP-29 juga menyepakati mekanisme untuk implementasi pasar karbon internasional melalui Paris Agreement Credit Mechanism (PACM) sesuai Pasal 6 Persetujuan Paris.
Mekanisme ini memungkinkan perdagangan karbon antara perusahaan dari suatu negara dengan unit kredit karbon dari negara lain dengan memenuhi standar tertentu.
Selain itu, mekanisme ini juga memasukkan perlindungan wajib untuk lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang akan diawasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Aturan yang jelas dalam penerapan pasar karbon diperkirakan akan menghasilkan aliran keuangan US$1 triliun per tahun pada 2050 secara global, demi merujuk laporan International Emission Trading Association (IETA) 2024. Namun, Arief menekankan pentingnya pandangan kritis terhadap keefektifan pasar karbon dalam mengurangi emisi secara nyata dan signifikan.
Selain melahirkan New Collective Quantified Goal on Climate Finance, COP-29 juga menetaskan beberapa kesepakatan pembiayaan iklim, seperti Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) bernilai US$170 miliar per tahun pada 2030, dengan US$120 miliar ditujukan bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Terdapat pula janji Dana Kerugian dan Kerusakan yang akan didistribusikan pada 2025 dengan total melebihi US$730 juta.
Indonesia dapat memanfaatkan potensi pendanaan ini dengan menyelaraskan komitmen iklimnya dengan kebijakan nasional yang mendukung transisi ke energi terbarukan. Ia menekankan bahwa sektor energi merupakan sektor pengemisi terbesar kedua di Indonesia setelah tata guna lahan dan kehutanan.
Dia mengatakan percepatan transisi energi memerlukan kebutuhan investasi US$20 miliar–40 miliar per tahun hingga 2050.
“Namun, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan hanya di bawah US$2 miliar per tahun pada periode 2017–2023. Pada 2022, pembiayaan dari sektor swasta meningkat hingga Rp26 triliun (sekitar US$1,7 miliar),” ujarnya dalam siaran pers.