Jakarta, FORTUNE - Manusia telah lama membuang limbahnya ke laut. Sampah menumpuk di semua bagian perairan penting itu dan membahayakan ekosistemnya. Terlepas dari berbagai jenis sampah yang mengotori, laut juga mesti menanggungg efek kegiatan manusia pada bentuk emisi karbon dan menghangatnya bumi. Pasalnya, laut menyerap 90 persen sisa panas yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang terjadi dalam beberapa dekade belakangan.
Media Inggris, The Guardian, melaporkan di berbagai wilayah dunia permukaan laut tercatat mengalami kenaikan temperatur tinggi sehingga memecahkan rekor yang telah dipegang selama ini. Data yang dipakai adalah milik badan Amerika Serikat, National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA). Pada awal April lalu, para ilmuwan NOAA mengamati suhu permukaan air mencapai 21,1 derajat Celsius, sepersepuluh kali lebih tinggi dari catatan sebelumnya pada 2016 yang mencapai 21 derajat Celsius. Menurut The Guardian, peningkatan pesat suhu air laut itu merupakan sebuah anomali yang penyebabnya belum bisa dijelaskan.
Gelombang panas dalam skala sedang hingga kuat terjadi di berbagai kawasan seperti Samudera Hindia bagian selatan, Atlantik bagian selatan, pantai barat laut Afrika, Selandia Baru, Australia bagian timur laut, dan sebelah barat Amerika Tengah.
Temperatur laut terus menanjak sejak dekade 1980-an, namun levelnya terjaga berkat kehadiran fenomena La Nina, yang membantu penurunan suhu air laut di Pasifik tengah dan timur, yang berpengaruh terhadap temperatur dunia.
Kembalinya El Nino
Di antara faktor penyebab terpenting pemanasan itu kemungkinan besar adalah kedatangan El Nino yang diprediksi akan menghebat, demikian laman CNN. El Nino adalah fluktuasi iklim alami yang berkaitan dengan menghangatnya Samudera Pasifik bagian tengah dan timur, dan gejala tersebut memiliki efek terhadap meningkatnya suhu udara secara global.
Dalam tiga tahun belakangan sejak 2020, iklim global telah dipengaruhi oleh La Nina—yang diistilahkan dengan triple dip, yakni kejadian yang berlangsung tiga tahun berturut-turut. Menurut para ilmuwan iklim, La Nina telah berakhir pada Maret lalu, dan itu berdampak pada kenaikan suhu air laut.
Menurut Badan Meteorologi Dunia, peluang El Nino terjadi mencapai 80 persen, dan fenomena tersebut akan berlangsung pada Juli hingga September 2023. Namun, hal yang mengagetkan para saintis adalah bahkan sebelum El Nino terjadi, temperatur sudah naik begitu banyak. Kenyataan tersebut memicu pendapat bahwa perubahan iklim terjadi lebih cepat dan hal tersebut tidak masuk prediksi model iklim yang sejauh ini dibangun.
La Nina Modoki
Opini berbeda dilontarkan oleh peneliti urusan klimatologi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin. Perempuan yang rajin membagikan pandangannya via akun Twitter pribadinya itu mengatakan kondisi cuaca belakangan yang masih menunjukkan tingginya asupan uap air menunjukkan El Nino berpotensi akan mundur. Ini, menurutnya, "fitur La Nina Modoki."
Erma lebih tegas lagi mengatakan kehadiran La Nina Modoki dapat menggagalkan terbentuknya El Nino, "apalagi dengan maraknya badai vorteks yang berpotensi terus tumbuh menjadi siklon tropis," ujarnya.
Kemunculan vorteks—yang dapat berkembang menjadi siklon tropis—memantik maraknya pembentukan awan hujan seperti yang belakangan terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Padahal, seharusnya sejak April negeri ini telah memasuki musim kemarau. "Pengamatan suhu terkini belum menunjukkan sinyal El Nino karena suhu laut di dekat Papua masih menghangat. Kelembapan pun masih tinggi di Indonesia," katanya. "Kalau La Nina Modoki terus berlanjut, ya, dampaknya kemarau basah lagi."