Jakarta, FORTUNE - Studi yang dirilis di Proceedings of the National Academy of Sciences belum lama ini mengungkap bahwa pemanasan global dan pertumbuhan populasi telah menyebabkan kondisi yang kian ekstrem di kota-kota besar.
Dilansir dari Daily Sabah pada Rabu (6/10), paparan panas ekstrem ini memengaruhi hampir seperempat populasi dunia dan menimbulkan masalah kesehatan. Penelitian juga menyebut, dalam beberapa dekade terakhir, ratusan juta orang telah pindah dari daerah pedesaan ke kota-kota. Di mana suhu umumnya lebih tinggi karena permukaan seperti aspal yang memerangkap panas dan kurangnya vegetasi.
Bagaimana penelitian ini dilakukan?
Para ilmuwan mempelajari panas dan kelembaban harian maksimum di lebih dari 13.000 kota dari tahun 1983 hingga 2016. Menggunakan apa yang disebut skala "suhu bola bola basah", ukuran yang memperhitungkan panas dan kelembaban, mereka mendefinisikan panas ekstrem sebagai 30 derajat Celcius. Para peneliti kemudian membandingkan data cuaca dengan statistik populasi kota selama periode 33 tahun yang sama.
Mereka menghitung jumlah hari panas ekstrem pada tahun tertentu. Para penulis menemukan bahwa jumlah penduduk kota terpapar panas ekstrem meningkat dari 40 miliar per tahun pada 1983 menjadi 119 miliar pada 2016.
Cascade Tuholske di Columbia University's Earth Institute, penulis utama studi tersebut, mengatakan kenaikan itu meningkatkan morbiditas dan mortalitas. "Ini berdampak pada kemampuan orang untuk bekerja, dan menghasilkan output ekonomi yang lebih rendah. Ini memperburuk kondisi kesehatan yang sudah ada sebelumnya," katanya.
Pertumbuhan populasi menyumbang pemanasan global
Pertumbuhan populasi menyumbang dua pertiga dari lonjakan paparan, dengan suhu pemanasan aktual berkontribusi sepertiga, meskipun proporsinya bervariasi dari kota ke kota. Ibu kota Bangladesh, Dhaka, adalah kota yang paling parah terkena dampak, mengalami peningkatan 575 juta orang-hari panas ekstrem selama periode penelitian.
Hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh populasinya yang melonjak dari sekitar 4 juta pada tahun 1983 menjadi sekitar 22 juta hari ini. Kota-kota besar lainnya yang menunjukkan tren serupa adalah Shanghai, Guangzhou, Yangon, Dubai, Hanoi dan Khartoum serta berbagai kota di Pakistan, India, dan Jazirah Arab.
Kota-kota besar yang mengalami sekitar setengah dari paparan mereka yang disebabkan oleh iklim yang memanas, termasuk Baghdad, Kairo, Kota Kuwait, Lagos, Kolkata, dan Mumbai.
Dunia butuh investasi untuk mencegah pemanasan global
Para penulis mengatakan pola yang mereka temukan di Afrika dan Asia Selatan, sangat membatasi kemampuan kaum miskin perkotaan untuk menyadari keuntungan ekonomi yang terkait dengan urbanisasi.
Para peneliti mengatakan, dibutuhkan investasi yang cukup, intervensi kemanusiaan, dan dukungan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif tersebut.
Di Amerika Serikat, sekitar empat puluh kota besar mengalami peningkatan paparan panas, terutama di negara bagian Pantai Teluk Texas, Louisiana, Mississippi, Alabama, dan Florida. Studi ini dilakukan oleh para peneliti di New York's Columbia, University of Minnesota Twin Cities, University of Arizona di Tucson dan University of California, Santa Barbara.
Sebuah laporan tahun 2020 oleh konsultan energi terkemuka, Wood Mackenzie, pada Rabu (23/9) menyebutkan, saat ini dunia akan mengalami kenaikan suhu 2,8 hingga 3 derajat Celcius dalam suhu rata-rata global. Angka itu di atas batas suhu pemanasan global yang disepakati secara internasional, yakni di bawah 2 derajat Celcius.
Dunia harus menggabungkan paket pemulihan dari dampak Covid-19 dengan investasi besar-besaran dalam energi terbarukan dan infrastruktur rendah karbon. Jika tidak, dunia akan gagal memenuhi target batas pemanasan global.
"Hampir US$ 20 triliun atau 25 persen dari PDB global, dialokasikan untuk pengeluaran selama 12-18 bulan ke depan untuk pemberian vaksin virus corona, mengatasi masalah pengangguran, membangun kembali sistem kesehatan masyarakat dan memulihkan ekonomi," kata Prakash Sharma, kepala pasar dan transisi untuk kawasan Asia Pasifik di Wood Mackenzie.
Angka investasi ini hanya memiliki proporsi kecil yang dialokasikan untuk janji target Perjanjian Paris—untuk penanganan perubahan iklim. Beberapa wilayah, seperti Uni Eropa, telah menggandakan target penghijauan, tetapi target itu saat ini sedang tidak tentu sama sekali di AS dan China.
Salah satu kendala adalah bahwa lebih dari setengah energi dan kapasitas industri yang ada di dunia baik listrik, semen, kilang, bahan kimia, dan kendaraan masih baru. Infrastruktur itu memiliki umur beberapa dekade lagi untuk beroperasi.
Selain itu, dibutuhkan dana lebih dari US$ 1 triliun setahun untuk membangun kapasitas pasokan energi baru, kata laporan Wood Mackenzie itu.