Jakarta, FORTUNE – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengungkapkan ada sanksi di balik kebijakan insentif impor completely built up (CBU) Mobil Listrik yang diberikan pemerintah.
Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.79/2023 tentang perubahan atas Perpres No.55/ 2019.
“Ini untuk memastikan keseriusan mereka. Mereka harus berikan komitmen dan jaminan. Jika tidak memiliki komitmen tersebut, mereka akan dikenakan sanksi proposional dengan komitmen mereka yang tidak terpenuhi,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Rachmat Kaimuddin, dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (22/12).
Sanksi tersebut diberikan apabila para pabrikan mobil listrik yang telah berkomitmen membangun pabrik di Indonesia tidak memenuhi janjinya. Sanksi berupa penarikan kembali insentif yang telah diberikan.
Contohnya begini. Ada sebuah pabrikan otomotif mendapat kuota impor 1000 unit sampai tahun 2025. Namun, hingga 2027, komitmen untuk memproduksi baru sampai 500 unit di dalam negeri.
“Maka 500 yang tersisa mereka harus kembalikan insentif yang telah mereka terima. Sanksi ini berlaku secara proporsional,” ujarnya.
Insentif yang diberikan kepada para importir yang mempunyai komitmen membuat kapasitas produksi di dalam negeri adalah kuota impor mobil listrik, pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan bea masuk nol persen.
Berdasarkan aturan tersebut, impor mobil listrik CBU diperbolehkan hingga 31 Desember 2025.
Syarat untuk memproduksi mobil listrik di Indonesia
Kemudian, ketentuan untuk memproduksi mobil listrik di dalam negeri adalah dengan memenuhi tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) sebesar 40 persen pada 2026. Kemudian, TKDN ditingkatkan menjadi 60 persen pada 2027.
“Dalam membangun kapasitas produksi membutuhkan waktu. Sambil menjalankan pengembangan kapasitas produksi, mereka butuh mengembangkan pasar,” kata Rachmat.
Selain itu, diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 1 persen hanya berlaku pada mobil listrik yang diproduksi di dalam negeri, dan tidak akan berlaku bagi produk CBU. Pasalnya, produk tersebut tidak memiliki syarat TKDN sesuai dengan Perpres.
Rachmat menyatakan para produsen tidak hanya dapat membuat pabriknya sendiri, namun juga diperbolehkan menggandeng fasilitas perakitan lokal untuk menghasilkan mobil listrik.
"Pada prinsipnya harus TKDN 40 persen. Jadi, apakah bikin pabrik atau apakah dia bisa kerja sama, selama itu cukup TKDN, maka tenaga kerja terbangun di domestik," ujar Rachmat.