Jakarta, FORTUNE – Asian Development Bank (ADB) beserta Indonesia dan Filipina meluncurkan kemitraan baru untuk mengeksekusi mekanisme transisi energi atau energy transition mechanism (ETM). Kemitraan ini kelak mendorong kedua negara untuk terus menurunkan emisi gas rumah kaca dari penggunaan batu bara.
“Indonesia dan Filipina berpotensi menjadi pelopor dalam proses penghapusan batu bara dari bauran energi di kawasan ini yang akan berkontribusi besar bagi pengurangan emisi gas rumah kaca global dan membawa perekonomian kedua negara ini ke jalur pertumbuhan yang rendah karbon,” kata Presiden Asian Development Bank (ADB) Masatsugu Asakawa dalam keterangan tertulis, Rabu (3/11).
Demi memuluskan transisi energi ini, pemerintah Jepang melalui Kementerian Keuangannya telah memberikan komitmen hibah $25 juta. Hibah tersebut adalah pembiayaan awal (seed financing) pertama yang diumumkan bagi ETM, yang saat ini sedang dikaji dan dirintis di Asia Tenggara dan dimulai dengan Indonesia dan Filipina.
Sebagai informasi, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memiliki porsi 67 persen dalam bauran energi di Indonesia dan 57 persen di Filipina. Indonesia merupakan negara penghasil emisi karbon atau gas rumah kaca terbesar ke-8 di dunia, serta pengekspor batu bara terbesar di dunia.
Secara keseluruhan, ETM menargetkan untuk mempensiunkan 50 persen kapasitas PLTU di Indonesia, Filipina, dan Vietnam dalam 10-15 tahun ke depan. Rencana ini akan memangkas emisi karbon hingga 200 juta ton per tahun, atau setara dengan emisi yang dihasilkan 61 juta mobil.
Kebutuhan energi di Asia akan naik dua kali pada 2030
Kebutuhan energi di Asia diperkirakan akan naik dua kali lipat hingga 2030, dan Asia Tenggara terus membangun kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi hingga 29 persen pada 2030 dan memiliki target mencapai nol emisi pada 2060. Pemerintah Filipina baru-baru ini mengumumkan rencana untuk melakukan moratorium pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.
Skema pembiayaan ETM
ETM adalah pendekatan transformatif dengan cara pembiayaan gabungan (blended financing), yang berupaya mempercepat waktu penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada, kemudian menggantikannya dengan kapasitas pembangkitan listrik yang bersih.
Mekanisme ini terdiri atas dua pembiayaan. Pertama dikhususkan untuk penutupan lebih dini atau pengalihan fungsi pembangkit listrik tenaga batu bara dengan jadwal dipercepat. Pembiayaan kedua berfokus pada investasi pembangkitan, penyimpanan, dan peningkatan jaringan listrik untuk energi bersih yang baru. Ke depannya, diharapkan bank multilateral, investor kelembagaan swasta, organisasi filantropi, dan investor jangka panjang akan menyediakan modal bagi ETM.
Selama tahap rintisan sepanjang 2–3 tahun tersebut, ETM akan menggalang sumber daya keuangan yang diperlukan untuk mempercepat penutupan lima hingga tujuh pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia dan Filipina, sekaligus memfasilitasi investasi pada berbagai opsi energi bersih alternatif di masing-masing negara tersebut.
Butuh triliunan rupiah pensiunkan PLTU
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan bahwa untuk mempensiunkan PLTU pada 2040, Indonesia membutuhkan bantuan keuangan dari dunia internasional. Pasalnya dana yang dibutuhkan sangat besar, setidaknya mencapai US$25–30 miliar atau sekitar Rp357–428 triliun.
Dana tersebut dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan, dan memberikan subsidi implisit sekitar US$10–23 miliar atau Rp 142–328 triliun agar harga listrik yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat.
"Jika targetnya 2040, maka kami membutuhkan pendanaan untuk membangun pembangkit listrik EBT. Ini yang menjadi inti permasalahannya. Saya sebagai menteri keuangan menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk memensiunkan PLTU," kata Sri Mulyani dalam dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, Selasa (2/11).