Jakarta, FORTUNE - Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa saat ini belum ada regulasi spesifik yang mengatur tentang penggunaan logam tanah jarang (LTJ).
Kendati demikian, pemerintah mulai menggodok penerbitan beleid berbentuk Inpres sebagai acuan dalam pengembangan maupun pengelolaan logam tanah jarang tersebut.
“Saat ini secara spesifik belum ada regulasi, namun pemerintah sudah membentuk tim, yaitu tim pengembangan industri berbasis LTJ dan penyusunan Inpres percepatan hilirisasi LTJ." Kata dia melalui keterangannya, Sabtu (12/9).
Kementerian ESDM memiliki kewenangan dalam menyusun regulasi dan kebijakan LTJ mulai dari eksplorasi hingga terwujudnya industri. Dia pun menuturkan, perlu didorong industri yang mampu menyerap LTJ dalam negeri dan mineral yang dimiliki.
Sejak Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 disahkan, Indonesia harus memaksimalkan dan memberikan nilai tambah pada sumber daya mineral dan batubara yang tersedia, termasuk di antaranya adalah Logam Tanah Jarang (LTJ). Ridwan mengatakan mineral merupakan sumber daya alam yang strategis dan penting bagi pengembangan industri nasional.
1. Kajian logam tanah jarang telah dilakukan sejak 2017
Ridwan juga mengatakan bahwa dari kajian mineral ikutan pertambangan timah yang telah dilakukan oleh Kementerian ESDM pada 2017 silam, ada prioritas pengembangan untuk industri strategis berbasis timah, yakni industri pertahanan, kesehatan, dan industri energi.
Sebagai gambaran, timah dan logam tanah jarang memiliki hubungan yang cukup erat. Logam tanah jarang diperoleh dari pertambangan timah yang menghasilkan monasit. Jenis ini paling memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sejumlah produk.
"Dapat dikatakan mineral-mineral ini akan menjadi bahan baku industri masa depan. Dari survei yang dilakukan oleh Badan Geologi, setidaknya ada 28 LTJ yang potensial untuk dilanjutkan eksplorasinya. Ada juga mineral kritis dan strategis, di mana mineral-mineral ini keberadaannya sangat penting, tak tegantikan, dan akan menjadi bahan baku berbagai industri masa depan," kata Ridwan.
2. Tiongkok peringkat 1 dalam pemanfaatan LTJ
Soal pemanfaatan LTJ, Ridwan mengatakan, Tiongkok pun menjadi negara yang paling besar menguasai mineral ini. Secara global Tiongkok menjadi negara yang dominan memproduksi LTJ, yakni 84 persen dari produksi dunia. Kemudian, disusul oleh Australia 11 persen, Rusia sebesar 2 persen, kemudian India dan Brazil masing-masing 1 persen, dan sisanya diproduksi dari negara lain.
Melihat data ini, Indonesia tidak masuk dalam jajaran negara penguasa logam tanah jarang. Meski tidak banyak, menurutnya Indonesia masih punya sumber daya logam tanah jarang yang bisa dikelola. "Artinya, kita bagian dari negara lain yang jumlahnya sedikit. Tapi sedikit-sedikitnya, kita ada bahan baku yang cukup dikelola," ujarnya.
3. Indonesia punya cadangan nikel terbesar di dunia
Sementara, terkait peran mineral dalam industri baterai untuk kendaraan berbasis listrik, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana memaparkan bahwa Indonesia memiliki posisi strategis pada industri baterai global.
Dia mengungkapkan, bahwa Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah cadangan tersebut merupakan 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139.419.000 ton. Tidak hanya nikel, Indonesia juga memiliki cadangan alumunium terbesar ke 6, tembaga di urutan ke-5, dan mangan pada urutan ke-6.
“Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan regulasi ataupun kebijakan guna mendukung percepatan 20 persen kendaraan listrik melalui berbagai kebijakan, insentif dan subsidi, serta pemilihan teknologi yang tepat," kata Agus.