Jakarta, FORTUNE - Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) memprediksi bahwa cadangan bijih nikel bermutu tinggi di Indonesia akan habis dalam waktu sekitar enam tahun.
Bijih Nikel Indonesia yang memiliki kadar tinggi 1,7 persen terutama digunakan untuk produksi nickel pig iron (NPI), yakni bahan baku baja tahan karat berisiko mengalami kekurangan bahan.
Sedangkan bijih nikel berkadar lebih rendah digunakan untuk membuat produk baterai kendaraan listrik.
“Pemerintah perlu melakukan upaya pengendalian yang komprehensif terhadap ketahanan cadangan nikel, sehingga dapat mempertahankan strategi hilirisasi dan meningkatkan nilai tambah,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, dikutip dari Reuters, Senin (30/10).
Penambangan dan peleburan nikel telah menjadi bagian utama perekonomian Indonesia, dengan investasi global bernilai miliaran dolar mengalir ke Indonesia setelah pemerintah melarang ekspor bijih yang belum diolah pada 2020.
Umur cadangan bijih mineral tertentu biasanya merupakan perkiraan, karena eksplorasi baru dapat meningkatkan ukurannya sementara teknologi baru dapat meningkatkan tingkat pengambilannya.
Meidy mengatakan salah satu solusi bagi Indonesia adalah dengan mendorong pengolahan bijih nikel kadar rendah di dalam negeri, yang dapat berlangsung selama 80 tahun. Hal ini harus diikuti degan menambahkan wilayah eksplorasi yang belum dijelajahi di Indonesia dan mempunyai cadangan lebih banyak.
Indonesia mempertimbangkan untuk mengenakan pajak atas ekspor produk NPI untuk mendorong pengembangan industri baterai pada 2021. Namun, rencana tersebut tertunda karena negara berupaya menciptakan indeks harga nikel.
Wacana setop Pembangunan smelter baru
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana untuk melakukan penghentian pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel baru.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), terdapat 34 smelter yang sudah beroperasi dan 17 smelter yang sedang dalam kontruksi.
Investasi yang telah tertanam di Indonesia mencapai US$11 miliar atau sekitar Rp165 triliun untuk smelter Pyrometalurgi, serta US$2,8 Miliar atau mendekati Rp40 triliun untuk tiga smelter Hydrometalurgi yang akan memproduksi MHP (Mix Hydro Precipitate) sebagai bahan baku baterai.
Kemenperin menghitung nilai tambah yang dihasilkan dari nikel ore hingga produk hilir meningkat berkali-kali lipat jika diproses di dalam negeri. Juru bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan pada pertengahan Agustus lalu via siaran pers bahwa jika nilai nikel ore mentah dihargai US$30 per ton, ketika menjadi Nikel Pig Iron (NPI) harganya akan naik 3,3 kali mencapai US$90 per ton. Sedangkan bila menjadi Ferronikel, akan naik 6,76 kali atau setara US$203 per ton.
Saat hilirisasi berlanjut dengan menghasilkan Nikel Matte, maka nilai tambahnya juga akan naik menjadi 43,9 kali atau US$3.117 per ton. Terlebih, sekarang Indonesia sudah punya smelter yang menjadikan MHP sebagai bahan baku baterai dengan nilai tambah US$3.628 per ton.