Jakarta, FORTUNE – Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan bisnis thrifting atau baju bekas hingga sepatu bekas impor membawa banyak dampak negatif di dalam negeri. Selain merugikan pelaku UMKM yang membuat produk lokal, keberadaan produk tekstil bekas impor itu juga membawa dampak buruk bagi lingkungan hingga pendapatan negara.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah Kemenkop UKM, Hanung Harimba, mengatakan persoalan maraknya thrifting saat ini menjadi isu yang serius. Ia pun menegaskan bisnis thrifting secara resmi dilarang pemerintah dan diatur dalam undang-undang karena banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan.
“Thrifting pakaian impor memiliki dampak yang merugikan, di antaranya menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena banyak di antara baju bekas impor tersebut berakhir jadi sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA),” ujarnya dalam keterangannya, Senin (13/3).
Larangan thrifting pakaian impor sebenarnya telah diatur pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Pada pasal 2 ayat 3 tertulis di antara barang yang dilarang untuk impor adalah kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Selain itu, thrifting pakaian bekas impor merupakan barang selundupan atau ilegal. Dengan kata lain, barang-barang bekas pakai tersebut tidak membayar bea dan cukai sehingga menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara.
“Thrifting pakaian impor ini juga akan merugikan produsen UKM tekstil. Menurut CIPS dan ApsyFI, 80 persen produsen pakaian di Indonesia didominasi oleh industri kecil dan mikro, sedangkan impor pakaian bekas selama ini memangkas pangsa pasar mereka sebesar 12-15 persen,” kata Hanung.
Banyak penjualan di toko online
Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengatakan penjualan pakaian bekas dilakukan secara terang-terangan di situs belanja online atau marketplace.
Dia mengatakan akan menegur marketplace dan meminta mereka menutup toko online atau daring yang menjual baju bekas impor.
“Kita untuk menolak masuknya pakaian bekas dan sepatu bekas impor untuk diperdagangkan sangat kuat. Kita ingin melindungi produk dalam negeri terutama di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT), yang sekarang sudah banyak diproduksi oleh pelaku UMKM di Tanah Air,” ujarnya.
Impor pakaian bekas terus meningkat seiring maraknya tren baju bekas. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan impor pakaian bekas pada 2022 melonjak 227,75 persen menjadi 26,22 ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 8 ton. Nilai impor pun melesat 518,5 persen menjadi US$272.146 atau setara Rp4,21 miliar, dari semula US$44.000.
Itu baru angka resmi yang tercatat BPS. Nilai impor pakaian bekas diperkirakan jauh lebih besar, karena banyak yang masuk lewat jalur-jalur pelabuhan tikus, melalui pelabuhan-pelabuhan kecil yang menyebar di berbagai pulau Nusantara.
Banyaknya penjualan fasyen bekas berdampak pada menurunnya permintaan terhadap industri tekstil dan produk tekstil serta alas kaki dalam negeri. Padahal, kata Teten, banyak produk fesyen lokal dengan kualitas tinggi yang tidak kalah dengan jenama dari luar negeri.
Dukung produk lokal
Pemerintah juga turut menginisiasi berbagai kebijakan yang menjadi bentuk dukungan dan komitmen dalam mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Salah satunya melalui alokasi 40 persen belanja Pemerintah dan BUMN untuk produk lokal.
“Melalui kebijakan tersebut, diprediksi oleh BPS akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 1,85 persen sekaligus menciptakan 2 juta lapangan kerja tanpa investasi baru,” ujar Teten.