Jakarta, FORTUNE – Anggota Komisi IV DPR RI mengaku tidak dilibatkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, dalam kebijakan perizinan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Perizinan khusus ini bakal diterapkan menyusul pembatalan sistem kontrak penangkapan ikan terukur.
“Saya berkali-kali minta tolong kalau rapat kerja, tolong kami diberikan semacam dikirim (dokumennya). Jadi, kalau kita ke Dapil dapat menjelaskan. Kalau kayak begini (tidak dilibatkan), ditanya (masyarakat) saya enggak tahu,” kata Ketua Komisi IV DPR-RI, Sudin, dalam rapat kerja yang disiarkan secara virtual, Senin (29/8).
Sudin mengaku mengetahui kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan ini dari pemberitaan koran Kompas.
Dia pun mempertanyakan landasan Menteri Kelautan dan Perikanan saat membatalkan sistem kontrak penangkapan ikan terukur. “Dipikirkan dululah. Jangan sampai kuota selesai selanjutnya kapal mengganggur, karena pemeliharaan kapal cukup mahal,” ujarnya.
Diduga bakal merugikan Indonesia
Senada dengan Sudin, Anggota Komisi IV DPR-RI, Hermanto, mengaku juga tidak dilibatkan dalam penyiapan kebijakan ini. Semestinya pemerintah dapat membicarakan soal itu terlebih dulu dengan anggota legislatif.
“Perizinan khusus belum pernah kita bicarakan di sini (rapat kerja), seperti apa formatnya. Apakah dia mengganti penangkapan terukur atau apa?” katanya.
Anggota Komisi IV Dapil Nusa tenggara Timur, Yohanis Fransiskus Lema, menilai skema ini pernah dipakai Indonesia pada 1968-1980. Dia menyebut, sistem ini sempat merugikan ketika bekerja sama dengan Jepang.
“Singkat kata, pada waktu itu kita dirugikan. Jadi, hati-hati saya ingatkan kepada Komisi IV terhadap konsep ini. Perlu kita kritisi,” ujarnya.
Penjelasan Menteri Kelautan dan Perikanan
Merespons hal tersebut, Wahyu Trenggono menjelaskan bahwa kebijakan ini masih dalam taraf pematangan. Dalam proses ini, dia menyebut akan melibatkan Komisi IV sebagai perwakilan rakyat agar keputusannya tepat guna dan tepat sasaran.
“Kita sedang rancang semua kapal akan dipasang teknologi digital dan berapa besar yang ditangkap,” ujarnya.
Dia mengatakan pemerintah tidak bisa menerapkan sistem kontrak untuk pemanfaatan sumber daya alam. Oleh karena itu, pihaknya sedang menyiapkan sistem perizinan khusus penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Jangka waktu perizinan khusus itu 15 tahun, sehingga investor sektor perikanan memiliki kepastian usaha, termasuk memperhitungkan titik impas (BEP) investasi di sektor perikanan.
Sebagai gambaran, skema perizinan khusus penangkapan ikan terukur hampir menyerupai sistem kontrak, akan tetapi tidak ada skema penandatanganan kontrak antara pemerintah dan pelaku usaha dalam pemanfaatan sumber daya ikan.
Alokasi jumlah kapal per jenis alat tangkap yang diberikan akan dialihkan ke alokasi kuota tangkapan ikan. Sistem penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga beralih dari praproduksi ke pascaproduksi.
Ada empat zona industri perikanan yang menerapkan kuota penangkapan ikan yang meliputi tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 718, WPP 711 (Laut Natuna dan Laut Cina Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik). Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera) serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan WPP 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara).