Jakarta, FORTUNE - Tingginya harga gandum dunia karena dampak perang Rusia-Ukraina diramalkan dapat mendongkrak harga mi instan di Indonesia hingga tiga kali lipat. Proyeksi tersebut disampaikan oleh Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
“Maafkan saya bicara ekstrem saja ini. Ada gandumnya, tapi harganya akan mahal banget. Sementara, kita impor terus," ujarnya pada webinar yang ditayangkan pada kanal YouTube Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan yang dikutip Selasa (9/8).
Dia mengatakan setelah dunia mengalami 'turbulensi' akibat wabah Covid-19, kecemasan masih bakal hinggap karena ada tantangan besar dari kondisi perubahan iklim global secara ekstrem kelak sangat berpengaruh pada sektor pangan.
Selain itu, perang Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda juga telah melambungkan harga gandum dunia. Pasalnya, kedua negara yang bertikai termasuk sebagai produsen gandum utama dunia.
Ada banyak negara terganggu karena perang
Selain merusak rantai pasok gandum, perang Rusia-Ukraina juga mengganggu pasokan pupuk. Menurut Syahrul, suplai pangan bagi 62 negara kini terganjal serius oleh konflik bersenjata tersebut.
Syahrul menyodorkan permintaan maaf telah meyampaikan informasi mengenai kemungkinan koreksi harga berlipat-lipat bahan baku tepung terigu itu. Indonesia terkena masalah karena gandum masih harus impor menyusul kesulitan dalam pembudidayaannya di Tanah Air.
Kemudian, seperti saran pemerintah sebelumnya, dia mengimbai masyarakat untuk dapat mengkonsumsi bahan pangan lain yang bisa menjadi pengganti gandum seperti singkong, sagu, dan sorgum.
Gandum geser beras sebagai makanan pokok
Pada kesempatan berbeda, pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, menyebut impor pangan Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, terutama di sektor gandum.
Bila impor tak kunjung turun, ia memperkirakan 50 persen kebutuhan pokok Indonesia dari beras bakal berganti menjadi gandum pada 2045. “Pada 2021, impor gandum sudah 11,7 juta ton dari 10,5 juta ton dari 2020. Ini yang harus jadi catatan,” ujarnya dalam diskusi virtual, Selasa (9/8).
Dwi mengutip Indeks Ketahanan Pangan Dunia yang menunjukkan penurunan posisi Indonesia dari posisi 65 pada 2020 menjadi posisi ke-69 pada 2021.
“Nah, yang harus ditekankan bersama pada 2020 hingga sekarang, di isu natural resources and resilience Indonesia berada di urutan terbawah atau 113 dari 113 negara. Ini merupakan isu yang teramat penting, karena di isu tersebut menunjukkan kemampuan (dan) kapasitas kita untuk memproduksi pangan di masa depan, daya pejal kita terhadap guncangan harga pangan dunia,” katanya.