Jakarta, FORTUNE - Capital Economics memprediksi eskalasi ketegangan usai Iran melancarkan serangan roket dan drone ke Israel kemungkinan memberi alasan kepada bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve alias Fed, untuk memperlambat penurunan Suku Bunga.
Serangan tersebut dikhawatirkan bakal mendongkrak harga minyak dan mengganggu upaya Fed dalam menekan inflasi.
Fortune melansir, Senin (15/4), pernyataan kepala ekonom Capital Economics, Neil Shearing, mengenai kemungkinan bahwa serangan itu akan berdampak pada perekonomian global.
“Kenaikan harga minyak akan mempersulit upaya untuk mengembalikan inflasi ke target di negara-negara maju, namun hanya akan berdampak material pada keputusan bank sentral jika harga energi yang lebih tinggi berdampak pada inflasi inti,” kata dia.
Mata dunia tertuju pada bagaimana Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyikapi serangan tersebut. Saat ini tengah ditunggu apakah Israel akan melancarkan balasan lebih besar kepada Iran.
Meskipun serangan Iran ini menandai aksi militer langsung pertamanya terhadap Israel, Gedung Putih mengisyaratkan pihaknya berupaya mencegah meluasnya permusuhan.
Presiden Joe Biden dilaporkan mengatakan kepada Netanyahu bahwa AS tidak akan berpartisipasi dalam tindakan ofensif apa pun terhadap Iran, setelah menjanjikan dukungan yang solid untuk pertahanan Israel.
Sementara itu, Wall Street bersiap menghadapi lonjakan harga minyak setelah serangan tersebut, dan banyak yang memperkirakan harga minyak akan melonjak di atas US$100 per barel. Itu setelah minyak mentah Brent melonjak 20 persen sepanjang tahun ini hingga melebihi US$90.
“Pasar energi tetap menjadi mekanisme transmisi utama ketegangan/konflik regional ke seluruh perekonomian dunia,” kata Shearing.
Dia mengutip pedoman umum yang mengatakan bahwa kenaikan harga minyak sebesar 10 persen berarti tambahan inflasi sebesar 0,1-0,2 basis points di negara-negara maju.
Meskipun hal ini berarti lonjakan harga minyak dalam sebulan terakhir akan meningkatkan inflasi sekitar 0,1, namun hal tersebut tidak akan mempengaruhi keputusan kebijakan bank sentral.
Sebaliknya, harga minyak harus mengalami kenaikan yang lebih besar dan berkelanjutan untuk menggerakkan kebijakan moneter, khususnya jika lonjakan tersebut berdampak pada inflasi inti.
Sentimen global penyeimbangan
Kendati demikian, Shearing juga menyoroti potensi penyeimbang terhadap kenaikan biaya energi. Misalnya, perluasan kapasitas produksi Cina dalam beberapa tahun terakhir membebani harga ekspor dan menciptakan tekanan disinflasi di pasar barang.
“Keretakan sudah mulai muncul di kelompok OPEC+ karena UEA dan produsen minyak lainnya menuntut untuk menaikkan batas produksi. Hal ini akan meningkatkan pasokan dan mengurangi tekanan pada harga minyak mentah,” kata Shearing.
Menurutnya, kejadian di Timur Tengah akan menambah alasan bagi Fed untuk mengadopsi pendekatan yang lebih hati-hati terhadap penurunan suku bunga. Namun, hal tersebut tidak akan mencegah penurunan suku bunga secara keseluruhan.
“Kami mengharapkan langkah pertama pada September. Dan, dengan asumsi harga energi tidak naik dalam sebulan ke depan, kami memperkirakan European Central Bank (ECB)dan Bank of England (BoE) akan melakukan pemangkasan pada Juni,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa penurunan suku bunga hanya akan terjadi ketika inflasi turun. Bahkan pada Januari ketika tingkat inflasi turun menjadi 3,1 persen dari 3,4 persen pada bulan sebelumnya, dia mengatakan perlu melihat tingkat inflasi turun lebih lama lagi.