Jakarta, FORTUNE - Usai pencabutan kebijakan larangan ekspor yang efektif diterapkan pada 23 Mei lalu, dampaknya pada realisasi ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya mulai terasa. Pada Juni, ekspor mencapai 2.334 ribu ton atau 3,4 kali lebih tinggi dari ekspor Mei yang mencapai 678 ribu ton.
Kenaikan ekspor Juni tertinggi terjadi pada tujuan Pakistan, dari 281 ribu ton menjadi 295,0 ribu ton. Tujuan 27 negara Uni Eropa dari 177,8 ribu ton menjadi 296,7 ribu ton. Tujuan Cina dari 208,5 ribu ton menjadi 416,2 ribu ton. Tujuan India dari 154,5 ribu ton menjadi 212,3 ribu ton. Tujuan Afrika dari 156,6 ribu ton menjadi 199,4 ribu ton.
Sementara, konsumsi dalam negeri Juni naik 225 ribu ton menjadi 1.835 ribu ton. “Kenaikan terbesar terjadi pada konsumsi untuk biodiesel yaitu sebesar 130 ribu ton menjadi 720 ribu ton, dan untuk pangan naik 97 ribu ton menjadi 934 ribu ton,” kata Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Mukti Sardjono, dalam keterangannya, Kamis (11/8).
Produksi CPO pada Juni juga mengalami kenaikan sekitar 6 persen menjadi 3.297 ribu ton, sedangkan untuk Palm Kernel Oil (PKO) naik menjadi 322 ribu ton.
Kenaikan produksi CPO sejalan dengan produksi TBS kebun juga naik. Tetapi, TBS diolah di pabrik kelapa sawit belum 100 persen, karena tingkat keterisian tangki masih tinggi.
Dengan penjelasan data di atas, stok akhir Juni diperkirakan mencapai 6.683 ribu ton. Perolehan ini lebih rendah dari stok akhir Mei 2022 sebesar 7.233 ribu ton.
Harga CPO mulai turun
Sementara, kondisi di pasar global terjadi penurunan harga CPO Cif Rotterdam dari US$1.714 pada Mei menjadi US$1.573 per ton pada Juni.
Demikian juga, harga rata-rata dalam negeri (lelang KPBN) pada Juni bergerak turun dari sekitar Rp13.000 per kilogram di awal Juni, dan turun menjadi sekitar Rp8.500 per kilogram di akhir Juni.
Situasi harga ini mengindikasikan bahwa ekspor Juni belum signifikan mengurangi tingginya stok di dalam negeri, sehingga belum mampu mendorong kenaikan harga CPO dalam negeri.
Sebab harga CPO turun
Plt. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Veri Anggrijono, mengatakan penurunan harga referensi CPO dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya kebijakan pemerintah Indonesia berupa program flush out, peningkatan kuota ekspor, dan pungutan ekspor CPO sebesar nol persen yang berlaku sampai 31 Agustus 2022.
Sementara itu, pengaruh eksternal penurunan harga referensi CPO di antaranya kebijakan Malaysia yang menghentikan produksi CPO karena kekurangan pekerja, serta kebijakan Rusia untuk menurunkan pajak ekspor minyak bunga matahari (sunflower oil).
Penetapan harga referensi ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1157 Tahun 2022 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 9- 15 Agustus 2022.
Pada 2022, kisruh minyak goreng di dalam negeri menjadi catatan ironis mengingat Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar dunia.
Sebagai negara produsen minyak sawit mentah terbesar di dunia, perdagangan CPO di Indonesia hingga kini belum jadi acuan dalam hal pembentukan harga CPO global. Peran itu justru diambil oleh Malaysia. Infrastruktur dan ekosistem bursa komoditas dinilai perlu ditingkatkan antara lain untuk melindungi nilai saat terjadi fluktuasi harga CPO global.