Jakarta, FORTUNE - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa penundaan pemberlakuan Undang-Undang Uni Eropa Anti Deforestasi (EUDR) adalah langkah yang baik, namun ia menekankan bahwa perubahan dalam implementasi peraturan jauh lebih penting.
Nantinya, pihaknya bersama Malaysia akan melakukan upaya lanjutan.
Dia menyampaikan hal tersebut menyusul pengumuman Uni Eropa yang memperpanjang masa persiapan penerapan EUDR selama satu tahun, yang sebelumnya akan mulai berlaku pada akhir Desember 2024.
“Penundaan ini tentu tidak hanya atas desakan Indonesia, tapi juga tekanan bipartisan dari Amerika di Kongres dan Senat, Kanselir Jerman, serta Sekjen WTO, Ngozi Okonjo-Iweala. Namun, yang paling penting bagi Indonesia adalah pembahasan ihwal peraturan pelaksanaan bukan sekadar penundaan,” kata Airlangga saat ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (3/10).
Indonesia dan Malaysia telah membentuk satuan tugas gabungan dengan Uni Eropa sejak dua tahun lalu untuk membahas berbagai keprihatinan dan kekhawatiran negara produsen mengenai rencana pelaksanaan EUDR.
Bakal mengancam keamanan negara
Salah satu isu yang menjadi perhatian utama Indonesia berkaitan dengan masalah geolokasi. Uni Eropa meminta detail lokasi perkebunan hingga ke tingkat koordinat, yang menurut Airlangga menimbulkan masalah keamanan.
“Negara kita diakses oleh pihak luar, dalam hal ini Uni Eropa, berdasarkan koordinat. Ini masalah security. Kita sudah punya dashboard nasional yang mengatur wilayah deforestasi dan kebun, dan kita meminta mereka untuk memeriksa data tersebut melalui dashboard kita,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia telah menyiapkan platform digital yang dapat dipantau, untuk memperkuat rantai pasok perkebunan rakyat dan industri komoditas-komoditas yang terdampak oleh kebijakan EUDR.
Setiap negara telah mempunyai standar keberlanjutannya
Airlangga juga menyoroti permasalahan lain yang berkenaan dengan peringkat negara. Dia memandang bahwa jika hanya Uni Eropa yang melakukan penentuan, hal tersebut tidaklah adil. Dampak ikutannya akan luas karena tidak saja berpengaruh pada sektor komoditas kehutanan, tetapi juga terhadap ekosistem perdagangan secara keseluruhan.
“Uni Eropa bukan lembaga pemeringkat. Untuk urusan ekonomi, ada lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional. Maka, regulasi ini harus dirubah, bukan hanya ditunda,” ujar Airlangga.
Airlangga juga menekankan pentingnya standar keberlanjutan karena Indonesia memiliki patokan tersendiri, yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)—sementara Malaysia memakai Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) dan Eropa menerapkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Masalahnya, EUDR tidak mengakui standar-standar tersebut, termasuk Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk kayu, meskipun Indonesia telah mematuhi standar tersebut.
“Jika kita harus mengulang proses ini, sama saja dengan reinventing the wheel. Ini bukan langkah yang baik. Kepentingannya bukan lagi hanya untuk Eropa, tetapi untuk standar internasional mengenai keberlanjutan,” katanya.
Dengan penundaan ini, Airlangga berharap ada lebih banyak waktu untuk terus memperjuangkan posisi Indonesia bersama Malaysia dalam kerangka kerja satuan tugas gabungan dengan Uni Eropa.
"Akan ada pertemuan lanjutan dengan Malaysia untuk membahas hal ini, dan pertemuan reguler dengan Uni Eropa sudah dijadwalkan," ujarnya.
Pada perkembangannya, regulasi tersebut telah menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertentangan dari berbagai kalangan dan negara karena proses pembahasannya yang dinilai tidak melibatkan negara-negara penghasil dari komoditas yang diatur dalam ketetapan EUDR tersebut, yakni kayu, sawit, kopi, kakao, soya bean, karet, dan hewan ternak.
EUDR juga tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat, seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi.