Jakarta, FORTUNE - Aturan baru yang melarang penjualan produk tembakau atau Rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak menjadi sorotan tajam para pelaku ritel.
Kebijakan ini tercantum dalam Pasal 434 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang diturunkan ke dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mewanti-wanti bahwa kebijakan ini akan berpengaruh pada pendapatan sektor ritel secara signifikan, mengingat produk tembakau merupakan salah satu komponen penjualan yang cukup besar.
Menurut Roy, produk olahan tembakau saat ini menyumbang hampir 15 persen dari total pendapatan ritel di Indonesia.
"Secara logis, jika aturan ini diterapkan, maka pendapatan sebesar itu akan hilang," kata Roy saat ditemui di Jakarta, Senin (23/9).
Ia menambahkan bahwa produk tembakau bertindak sebagai traffic puller. Maksudnya, pelanggan datang untuk membeli rokok sekaligus belanja produk lain. Dengan pembatasan ini, diprediksi akan terjadi penurunan kunjungan konsumen ke toko-toko ritel.
Dampak ini tidak hanya akan dirasakan oleh pengecer kecil, tetapi juga jaringan minimarket, supermarket, hingga upper market yang selama ini mengandalkan penjualan produk tembakau sebagai bagian dari kontribusi pendapatan.
Kontribusi rokok ke sektor ritel
Dari sekitar 48.000 gerai ritel yang ada di Indonesia, Roy memperkirakan 30 persennya, atau sekitar 15.000 gerai, akan terdampak oleh penerapan aturan ini karena berdekatan dengan atuan pendidikan atau tempat bermain anak.
Roy juga menyoroti besarnya nilai ekonomi yang dipertaruhkan.
"Dari 15 persen kontribusi ini, diperkirakan total pendapatan yang akan hilang mencapai sekitar Rp40 triliun hingga Rp48 triliun," katanya.
Ia menambahkan bahwa aturan jarak penjualan tersebut berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal yang tidak diatur dengan baik. Pada sisi lain, produktivitas industri rokok legal—yang telah mematuhi aturan PP 109 tahun 2012, yang menetapkan larangan terhadap penjualan kepada anak-anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan—akan terancam.
Baginya yang menjadi urgensi saat ini adalah penertiban rokok ilegal.
"Kenapa pemerintah tidak fokus membasmi rokok ilegal yang sedang marak saat ini? Kenapa yang membayar cukai, yang berkontribusi bagi penerimaan negara, bagi pembangunan, bagi investasi tidak dilindungi? Dampak regulasi ini sampai ke hulu, ke petani tembakau. Pemerintah tidak memikirkan mitigasinya," ujar Roy.
Meski bertujuan untuk menekan prevalensi perokok di kalangan anak-anak, pelaku industri menilai perlu ada peninjauan lebih lanjut terkait dampaknya terhadap sektor ritel dan keberlangsungan usahanya.