Jakarta, FORTUNE - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menargetkan bahan baku obat parasetamol 100 persen bisa diproduksi di dalam negeri pada 2027. Sejauh ini, pemerintah telah mengidentifikasi 16 bahan baku obat yang kebanyakan dikapalkan dari luar negeri, dan telah mulai mengembangkan agar dapat diproduksi secara domestik.
"Misalnya Parasetamol di tahun 2021 itu 99,9 persen masih impor, dan sekarang kita sudah mulai membuat pabriknya di dalam negeri, dan diharapkan impor bisa turun di 2024 sampai 19 persen. Dari 99 persen menjadi 19 persen," ujar Menteri Kesehatan, Budi Gunawan Sadikin, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen, Selasa (8/11).
Budi mengatakan bahan baku obat tersebut bakal diproduksi oleh PT Kaltim Parna Industri (KPI) dan PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Pada 2021, Kemenkes telah menyiapkan pembangunan fasilitas produksi yang bekerja sama dengan PT KPI. Kemudian pada 2022, KFSP meneken MoU dengan Sinopharm.
Nantinya ketika obat telah diproduksi, Kemenkes akan mendorong industri melakukan peralihan dari impor dengan membeli produk buatan dalam negeri.
“Jadi, bahan baku obat kalau mesti berubah dari impor ke pembeli-pembeli dalam negeri harus dilakukan perubahan bahan baku obatnya secara resmi, dan ini kadang-kadang agak panjang waktu yang dibutuhkan. Makanya kita fasilitasi agar change source ini bisa lebih cepat terjadi,” kata Budi.
Impor garam farmasi juga akan ditekan
Di samping akan menekan impor bahan baku paracetamol, pemerintah pun akan melakukan hal sama pada garam farmasi. Pada 2024, importasinya akan ditekan hingga 100 persen. Selama ini, garam farmasi sepenuhnya masih mengandalkan impor. Tahun ini Kemenkes menargetkan impornya turun menjadi 79,38 persen, katanya.
“Saat ini, sudah 158 industri farmasi menggunakan produk dalam negeri, di antaranya 39 industri farmasi melakukan change source. Dan diharapkan tahun depan bisa menurunkan impornya hanya 18,39 persen. Sebagian besar akan kita dorong membeli dalam negeri,” ujarnya.
Dorong pengembangan alkes dalam negeri
Terkait alat kesehatan (alkes), Kemenkes terus mendorong pengembangan dan produksi rapid diagnostic test (RDT) dalam negeri demi mendukung program deteksi penyakit. Pengembangan di antaranya dilakukan melalui reverse engineering dan/atau transfer teknologi.
Selain itu, pengembangan alkes didorong melalui inovasi dan penelitian oleh perguruan tinggi. Nantinya, Kemenkes akan memfasilitasi 'perjodohannya' dengan industri.
"Untuk alat kesehatan yang berat karena teknologi tinggi, kita mendorong agar dibangun joint venture, yang penting pabriknya di Indonesia," kata Budi.
Belanja alat kesehatan dalam negeri pada 2020 mencapai Rp2,3 triliun, dan belanja alat kesehatan pada 2021-2022 bernilai Rp11,93 triliun.
"Tahun depan saya ingin paksa supaya bisa di atas Rp25 triliunan kita beli alkesnya dari dalam negeri supaya perputaran ekonominya lebih jalan," ujarnya.