Jakarta, FORTUNE – Menteri Perndustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menargetkan pertumbuhan Industri Pengolahan nonmigas pada 2024 mencapai 5,80 persen. Untuk tahun ini, dia memperkirakan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas hingga tutup tahun mencapai 4,81 persen.
“Kami tetap optimistis menghadapi tahun 2024 seiring dengan harapan membaiknya kondisi global dan perekonomian nasional,” kata Agus dalam pernyataan pers yang dikutip Jumat (29/12).
Sejalan dengan target tersebut, Agus mengatakan sumbangsih industri pengolahan nonmigas pada 2023 diproyeksi mencapai 16,91 persen, dan target pada 2024 mencapai 17,90 persen.
“Nilai ekspor industri pengolahan nonmigas [pada 2023] diperkirakan US$186,40 miliar, dan pada tahun 2024 ditargetkan mencapai US$193,4 miliar,” ujarnya.
Sementara itu, nilai investasi industri pengolahan nonmigas diperkirakan mencapai Rp571,47 triliun pada 2023, dan target 2024 adalah Rp630,57 triliun.
“Sedangkan penyerapan tenaga kerja industri pengolahan nonmigas akan mencapai 20,33 juta orang pada tahun 2024,” katanya.
Guna mencapai target-target tersebut, Agus menyatakan pihaknya siap menggulirkan beberapa program prioritas. Misalnya, program restrukturisasi mesin dan/atau peralatan kepada industri pengolahan kayu, makanan dan minuman, tekstil, serta kepada para pelaku industri kecil menengah.
Selain itu, ada program untuk melanjutkan hilirisasi sumber daya alam pada tiga sektor, yakni industri berbasis agro, industri berbasis bahan tambang dan mineral, serta industri berbasis migas dan batu bara.
Berikutnya, untuk mendukung kebijakan green economy serta dekarbonisasi sektor industri, KeMenperin terus berupaya memacu pembangunan industri hijau untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Kemenperin juga akan memperkuat penumbuhan dan pengembangan IKM startup berbasis teknologi.
Tantangan 2024
Agus mewanti-wanti bahwa yang patut menjadi perhatian adalah sejumlah kendala dan tantangan pada 2024 sebagai dampak geoekonomi dan geopolitik yang masih akan berlangsung.
Pertama, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat akibat melemahnya pertumbuhan ekonomi Cina dan negara-negara Eropa, sehingga permintaan global akan turut melemah dan permintaan terhadap produk ikut menurun.
Kedua, akan terjadinya depresiasi nilai tukar akibat kebijakan moneter di negara maju untuk menekan inflasi dengan menaikkan tingkat suku bunga.
Ketiga, apabila konflik Ukraina-Rusia dan Palestina-Israel berkepanjangan, stabilitas kawasan akan terganggu sehingga memicu kenaikan harga komoditas, pangan, dan energi.
Lalu, pelaksanaan pemilu di Tanah Air di satu sisi memberikan dampak positif bagi industri nasional, namun juga membuat investor mengambil posisi wait and see.