Jakarta, FORTUNE - Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo mengakui kesulitan menggenjot produksi kedelai dalam negeri. Padahal, target produksi kedelai sebelumnya direncanakan adalah 400.000 ton.
"Kenapa 2022 (target produksi) turun lagi, karena anggaran kita turun dan itu sudah diputuskan dalam rapat dengar pendapat. Kemarin tidak mungkin kita naikkan dengan anggaran yang turun," kata Syahrul saat rapat dengan Komisi IV DPR, Senin (14/2). Tahun ini Kementerian Pertanian menargetkan produksi kedelai 200 ribu ton.
Di luar hal tersebut, petani lebih memilih menanam jagung dengan keuntungan lebih jelas, dibandingkan kedelai yang harganya juga kalah dari produk impor. "Kenapa impornya lebih besar? Karena harga di luar (negeri) jauh lebih murah. Sementara, petani kita baru bisa untung kalau dibeli di atas Rp6.000 sampai Rp7000 per kilo," ujarnya.
Mentan usul larangan terbatas untuk impor kedelai
Menurut Syahrul, persoalan kedelai menjadi tantangan tersediri bagi Kementan, komoditas tersebut tergolong non larangan terbatas (lartas).
"Saya berharap ini bisa dibunyikan juga, karena tanpa lartas kita tetap mendapatkan impor kedelai yang mungkin saja dari GMO (rekayasa genetika) itu. Padahal, di sini Walhi bener-benar memerangi gunakan itu," katanya menyinggung akronim lembaga gerakan lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
DPR tagih janji Mentan
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, menagih janji Syahrul untuk bisa mengendalikan persoalan produksi kedelai. "Ketika Januari atau Februari, Presiden Jokowi ingin diselesaikan persoalan kedelai. Kemudian Pak Menteri dengan lantangnya berjanji di hadapan Komisi IV, menyelesaikan persoalan kedelai dua kali masa tanam," kata Johan.
Namun, dalam kenyataannya, produksi kedelai domestik jauh dari harapan. Kini pun harganya naik karena kebutuhan nasional masih ditutupi kedelai impor. "Ketika tadi melihat target produksinya (tahun ini), dibuat gagah pakai juta, sebanyak 0,2 juta. Kebutuhan nasional itu 2 sampai 3 juta ton tapi target produksinya hanya 200 ribu," ujarnya.
Menurutnya, harga kedelai akan terus naik karena Brasil dan Amerika Serikat sebagai negara-negara utama pengekspor kedelai tidak mencapai target produksinya.
Efek kenaikan harga kedelai
Pada kesempatan berbeda, Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, mengatakan total kebutuhan 3 juta ton tersebut digunakan untuk memproduksi tahu dan tempe. Perinciannya, 1 juta ton untuk tahu, dan sekitar 2 juta ton untuk tempe.
“Sari 3 juta ton, 80 persen lebih impor, produksi lokal hanya 10 persen lebih,” kata Aip saat konferensi pers secara virtual, Jumat (11/2).
Ia mengatakan, saat ini sekitar 30.000 perajin tahu–tempe berhenti menghasilkan karena harga kedelai naik. “Harga kedelai saat ini yang dipasok importir itu antara Rp10.500–Rp11.500 per kilogram dalam tempo satu bulan ini,” katanya.