Jakarta, FORTUNE - Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan potensi nilai ekonomi pada musim kurban 2022 mencapai Rp24,3 triliun. Angka tersebut berasal dari 2,17 juta pekurban. Proyeksi tersebut meningkat tipis dari tahun lalu yang diperkirakan mencapai Rp22,3 triliun dari 2,11 juta pekurban.
“Meski tahun ini keberangkatan jamaah haji ke tanah suci sudah kembali dibuka, namun pemulihan ekonomi masih terhambat akibat krisis global. Daya beli masyarakat juga semakin melemah akibat kenaikan harga pangan dan energi, serta penyebaran wabah PMK (penyakit mulut dan kuku),” kata Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono, dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/7).
Dengan 2,17 juta potensi pekurban, diperkirakan kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing dan domba sekitar 1,31 juta ekor. Kemudian untuk sapi dan kerbau sekitar 519 ribu ekor.
Potensi kurban terbesar datang dari Pulau Jawa, terutama wilayah aglomerasi yang menjadi tempat berdiam mayoritas kelas menengah muslim dengan daya beli tinggi. Potensi kurban Pulau Jawa diproyeksikan terdiri dari 396 ribu sapi-kerbau, dan 936 ribu kambing-domba.
Total hewan yang dikurbankan tersebut akan menghasilkan 80,4 ribu ton daging atau setara Rp18,3 triliun. “Potensi kurban Jawa terbesar lainnya datang dari Bandung Raya, Surabaya Raya, Yogyakarta Raya, Malang Raya dan Semarang Raya,” kata Yusuf.
Kurban bukan hanya ritual ibadah
Risetnya memperlihatkan bahwa kurban bukan hanya ritual ibadah, namun telah menjadi tradisi sosial-ekonomi tahunan. Sebagai negara muslim terbesar, potensi kurban di Indonesia sangat signifikan.
Jika kurban dikelola dengan baik, menurut Yusuf, semestinya hal tersebut mampu menjadi kekuatan ekonomi. Selain itu, ajang tahunan ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah dan memberdayakan peternak rakyat.
“Pada masa pemulihan ekonomi pasca pandemi ini, upaya mengarusutamakan kurban sebagai pranata sosial-ekonomi ini semakin menemukan relevansi dan urgensinya,” ujar Yusuf.
Ada kesenjangan konsumsi daging
Sementara itu, Askar Muhammad yang juga Peneliti IDEAS mengatakan besarnya potensi daging yang dihasilkan dalam pelaksanaan kurban berpeluang menurunkan ketimpangan atau kesenjangan konsumsi daging yang jika diukur dengan rasio gini di atas 0,6.
Pada 2021, rata-rata penduduk di persentil tertinggi (1 persen kelas terkaya) mengonsumsi 4,52 kilogram (kg) daging kambing dan sapi per tahun atau 230 kali lebih tinggi dari rata-rata penduduk di persentil terendah (1 persen kelas termiskin) yang hanya mengonsumsi 0,02 kg daging per tahun.
"Kesenjangan konsumsi daging tidak hanya terjadi antar kelas ekonomi, namun juga antar daerah, bahkan juga terjadi antardaerah di Jawa. Sebagai misal, pada 2021, konsumsi rata-rata daging di Jakarta Pusat tercatat 1,73 kg per tahun, 40 kali lebih tinggi dari konsumsi Kabupaten Pandeglang yang tercatat hanya 0,04 kg per tahun," katanya.
Dengan potensi daging yang mencapai 106.200 ton, maka kurban berpotensi memperbaiki tingkat gizi dan kesehatan masyarakat jika terjadi pendistribusian daging kurban terutama kepada kelompok termiskin dan daerah minus kurban. "Tanpa rekayasa sosial, distribusi daging kurban berpotensi hanya beredar di wilayah yang secara rata-rata konsumsi dagingnya justru sudah tinggi," kata Askar.