Jakarta, FORTUNE - Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memproyeksikan potensi ekonomi kurban Indonesia pada 2023 mencapai Rp24,5 triliun yang berasal dari 2,08 juta pekurban (shahibul qurban).
Proyeksi tersebut menurun tipis dibandingkan dengan 2022 yang diperkirakan mencapai Rp24,3 triliun dari 2,17 juta orang pekurban.
Artinya, ada penurunan sekitar 90.000 pekurban pada tahun ini.
“Meski pandemi kini telah berakhir dan mobilitas masyarakat telah sepenuhnya normal, namun resesi global telah melemahkan kembali pemulihan ekonomi pascapandemi. Melemahnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga pangan dan energi, yang antara lain terlihat dari rendahnya inflasi saat Ramadan dan Idulfitri tahun ini yang baru saja berlalu, menyebabkan kami mengambil estimasi kurban yang konservatif,” kata Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono, dalam keterangan persnya.
Dari 2,08 juta keluarga muslim berdaya beli tinggi yang berpotensi menjadi shahibul qurban, kebutuhan hewan kurban terbesar adalah kambing dan domba sekitar 1,23 juta ekor. Sedangkan sapi dan kerbau, 505.000 ekor.
“Dengan asumsi berat kambing–domba antara 20–80 kilogram dengan berat karkas 41 persen, serta berat sapi–kerbau antara 250–750 kilogram dengan berat karkas 57 persen, maka potensi ekonomi kurban 2023 dari sekitar 1,74 juta hewan ternak ini setara dengan 103,0 ribu ton daging,” kata Yusuf.
Indonesia sejak lama mengalami kesenjangan lebar konsumsi makanan yang berakar pada kesenjangan pendapatan. Kesenjangan dalam konsumsi makanan terlihat jelas pada jenis makanan penting yang harganya mahal sehingga tidak mampu dijangkau masyarakat kelas bawah. Contohnya adalah daging.
“Pada 2022, rata-rata penduduk di persentil tertinggi (1 persen kelas terkaya) mengkonsumsi 5,31 kilogram daging kambing dan sapi per kapita per tahun, 294 kali lebih tinggi dari rata-rata penduduk di persentil terendah (1 persen kelas termiskin) yang hanya mengkonsumsi 0,02 kilogram daging per kapita per tahun,” ujar Yusuf.
Kurban meningkatkan akses pangan
Dengan dampak resesi global yang kini semakin terasa dan lebih keras menghantam kelompok miskin, kesenjangan konsumsi daging cenderung akan kian memburuk. Kehadiran kurban di tengah resesi global menjadi sangat berarti bagi kelompok miskin.
“Kurban berpotensi berpotensi besar memperbaiki akses kelompok miskin pada pangan penting yang harganya mahal ini. Akses yang lebih merata akan menurunkan tingkat ketimpangan konsumsi daging,” ujar Yusuf.
Dia mengatakan dengan besarnya potensi kurban di satu sisi dan rendahnya konsumsi daging masyarakat, terdapat peluang besar untuk menurunkan ketimpangan konsumsi daging yang sangat tinggi antara kelas bawah dan kelas atas. Hal ini dapat terjadi ketika fokus pendistribusian daging kurban adalah pada kelompok masyarakat dengan konsumsi daging terendah.
“Pada 2022, kami mengidentifikasi setidaknya terdapat 74,2 juta orang mustahik yang merupakan kelompok dengan konsumsi daging terendah, karenanya paling berhak menerima daging kurban,” kata Yusuf.
Menurunkan kesenjangan konsumsi daging
Secara umum, kelas menengah memiliki konsumsi daging yang juga rendah, sebagaimana kelas bawah, dan karenanya berhak atas alokasi daging kurban. Namun, kelas menengah diduga kuat telah memiliki konsumsi yang tinggi untuk daging olahan, seperti bakso, nugget, sosis, serta daging unggas, terutama ayam, dan ikan.
Jika penargetan dapat dilakukan secara sempurna kepada 74,2 juta mustahik prioritas—kelas ekonomi lebih rendah mendapatkan alokasi daging kurban lebih banyak—maka kesenjangan konsumsi daging berpotensi kuat dapat diturunkan secara signifikan.
"Simulasi kami menunjukkan, jika dapat dilakukan rekayasa sosial dalam pendistribusian daging kurban, yang mengizinkan pentargetan secara sempurna kepada 74,2 juta mustahik prioritas, maka kesenjangan konsumsi daging yang diukur dalam gini rasio berpotensi turun signifikan, dari 0,61 menjadi 0,38," ujar Yusuf.