Jakarta, FORTUNE – Pemerintah telah tiga kali mengubah syarat jenis tes Covid-19 untuk melakukan perjalanan dalam masa pandemi COVID-19, terutama untuk moda transportasi udara.
Pada akhir 2020, syaratnya cukup menggunakan swab antigen. Namun, sebulan lalu, tes polymerase chain reaction (PCR) menjadi kewajiban. Kebijakan tersebut sempat menuai gelombang protes dan petisi. Kemudian, dalam aturan terbaru nanti, pemerintah menghapus kewajiban tes PCR sebagai satu-satunya syarat terbang bagi calon penumpang pesawat.
“Perjalanan akan ada perubahan yaitu wilayah Jawa-Bali, perjalanan udara tidak lagi harus pakai tes PCR, tapi cukup tes antigen. Sama dengan yang diberlakukan di wilayah luar Jawa non-Bali,” kata Menteri Koordinator Pemberdayaan Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, pada acara jumpa pers, Senin (1/11).
Pemerintah melonggarkan syarat perjalanan dengan pesawat. Perjalanan udara tak lagi mesti melampirkan hasil tes PCR, tapi cukup dengan uji antigen. Lalu, seperti apa tes PCR ini sebenarnya sehingga terus mengalami perubahan pengaturan?
Mekanisme tes PCR
Tes PCR menerapkan metode usap untuk mengambil sampel pada pangkal hidung dan tenggorokan. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menganggap tes ini sebagai gold standard deteksi material genetik virus corona.
Mekanisme tes PCR menggunakan sampel RNA COVID-19 yang disalin balik untuk membentuk pasangan DNA. Salinan diperbanyak dengan PCR hingga terbentuk banyak rantai DNA, yang biasanya perlu waktu 6 jam hingga dua hari. Dengan uji ini, akan diketahui apakah seseorang positif atau negatif COVID.
Kelebihan tes PCR ketimbang cara deteksi lain adalah kemampuannya memberikan hasil paling akurat. Meski begitu, tes ini memerlukan waktu lebih lama ketimbang yang lain dan hanya bisa dilakukan dengan tenaga terlatih.
Asal pemasok tes PCR yang digunakan Indonesia
Selama periode Januari—Agustus 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor instrumen tes PCR mencapai 203,2 ton, dengan nilai US$31,99 juta atau setara Rp452,9 miliar.
Data tersebut belum termasuk impor reagent untuk analisis PCR. Berdasarkan data BPS juga, impor instrumen PCR dengan kode HS 90278030 tertinggi berasal dari Tiongkok. Berikut daftar negara ekportir instrumen PCR terbesar ke Indonesia:
- Tiongkok 66.609 kilogram, senilai US$9.226.860
- Amerika Serikat 24.515 kilogram, senilai US$5.198.481
- Jepang 18.509 kilogram, senilai US$1.957.504
- Jerman 8.467 kilogram, senilai US$1.239.612
- Korea 16.712 kilogram, senilai US$5.169.928
- Taiwan 48.708 kilogram, senilai US$5.071.544
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR. Secara persentase, porsi impor PCR perusahaan swasta mencapai 88,16 persen, lembaga non profit 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen.
Kronologi Harga Tes PCR dari Rp2,5 juta hingga Rp275 ribu
Harga tes PCR juga terus mengalami perubahan. Saat ini, levelnya telah menyentuh Rp275 ribu untuk Jawa dan Bali, dan Rp300 ribu untuk yang selainnya. Sebelum itu, tes PCR sempat mengalami beberapa kali penurunan harga.
Pada awal pandemi, harga yang harus dibayar untuk tes PCR dapat mencapai Rp2,5 juta. Akibatnya, banyak pihak mengalami kesulitan untuk melakukan deteksi dini COVID-19.
Guna menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah akhirnya menurunkan harga tes menjadi maksimal Rp900 ribu pada Agustus 2020. Penurunan itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK. 02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Di kemudian hari, harga tes PCR kembali turun menjadi Rp 275 ribu untuk Pulau Jawa dan Bali, serta Rp300 ribu untuk luar Jawa-Bali, setelah Presiden Jokowi mengajukan permintaan. Penurunan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan RT-PCR.