Jakarta, FORTUNE – Direktur Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Risal Wasal, menyatakan mendapat instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk tidak memungut biaya penggunaan prasarana perkeretaapian/TAC (track access charge) kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Dengan begitu, target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari instansinya pun takkan mencapai target. Padahal, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, setiap tahun terus meningkatkan target PNBP terhadap Ditjen Perkeretaapian.
“Kami kehilangan anggaran sekitar Rp1,2 triliun dari TAC,” kata dia di hadapan Komisi V DPR-RI, Selasa (5/7).
Pada 2023, KAI membutuhkan pendanaan besar untuk mengoperasikan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Perusahaan itu merupakan pemimpin konsorsium BUMN dan menanggung beban berat dalam realisasi proyek KCJB. Proyek pembangunan ini, yang semula membutuhkan dana US$6,07 miliar, membengkak hingga US$7,5 miliar. Nilainya setara Rp112 triliun (kurs Rp15.000).
Dengan menyusutnya penerimaan PNBP, Risal mengatakan pihaknya akan mengupayakan alternatif lain supaya ada penerimaan. Pihaknya akan memaksimalkan PNBP melalui aset dan pengujian terhadap sarana-prasarana, dan peningkatan SDM.
Kemudian untuk memuluskan rencana pembangunan infrastruktur perkeretaapian, Risal akan berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk swasta dan investor lain.
KAI utang TAC pada 2022
Sebelumnya, realisasi PNBP Ditjen Perkeretaapian pada 2022 hanya mencapai Rp330 miliar. Padahal, target yang dicanangkan lebih dari Rp1 triliun.
Penyebab tidak tercapainya target karena KAI selaku operator kereta api masih menimbang formula baru yang digunakan, yakni perhitungan TAC berdasarkan PMK 138/2021 tentang Jenis atas Jenis dan Tarif PNBP Volatile dan Kebutuhan Mendesak.
Total tagihan TAC pada 2022 mencapai Rp2,4 triliun.
Realisasi anggaran DJKA masih minim
Di samping itu, realisasi anggaran Ditjen Perkeretaapian 2023 masih kecil. Dari realisasi pagu anggaran 2023 Rp7,43 triliun, realisarinya baru Rp2,27 triliun atau 30,54 persen per Juli.
Alasan penyerapan anggaran masih belum maksimal. Pertama, biaya pemerintah untuk perawatan dan pengoperasian perkeretaapian atau Infrastructure Maintenance and Operation (IMO) belum dibayarkan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Pasalnya, kontrak belum dibuat, dan kebijakan kebijakan dari Kementerian BUMN, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Keuangan masih dinanti hingga kini.
Kedua, penyerapan PHLN (pinjaman dan hibah luar negeri) masih menunggu Jabodetabek railways kapasitas assessment fase 1 untuk penyusunan perhubungan jadwal tenaga ahli asing dari luar negeri.
Kemudian, terdapat masalah hukum yang penimpa sejumlah jajarannya, yang menyebabkan beberapa kegiatan Ditjen Perkeretaapian harus dievaluasi hingga dihentikan.