Jakarta, FORTUNE – Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan perjanjian penyesuaian ruang kendali udara atau Flight Information Region (FIR) yang diteken pemerintah Singapura dan Indonesia pada 25 Januari 2022, akan membuat 249.575 kilometer persegi ruang udara Indonesia diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia (FIR Jakarta).
Dengan adanya perjanjian tersebut, Budi menyebut, bakal mengakhiri status quo atas status ruang udara di Kepulauan Riau dan Natuna.
Sebelum Indonesia merdeka, pengaturan atas sebagian wilayah ruang udara Indonesia telah dilakukan oleh negara lain yakni Singapura. Sejak 1995, pemerintah ketika itu telah melakukan upaya pengaturan ruang udara di atas kepulauan Riau dan Natuna. Namun, perjanjian tentang FIR Indonesia dengan Singapura tidak pernah bisa berlaku efektif.
Sejak 2015, terhitung lebih dari 40 kali pertemuan yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga yang telah dilakukan.
Sebelumnya, seluruh pesawat udara yang terbang pada ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna harus mendapatkan clearance dari otoritas penerbangan Singapura.
Manfaat dari pengambilalihan ruang udara
Setelah perjanjian sudah berlaku secara efektif, seluruh pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh FIR Jakarta. Hasil yang diraih saat ini merupakan amanah Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009, seperti:
- Pengukuhan internasional terkait kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan dan ruang udara didalam FIR Jakarta bertambah seluas 249.575 kilometer persegi.
- Dukungan operasional dan keamanan pada kegiatan pesawat udara negara (TNI, Polri, KKP dan Bea Cukai) lebih maksimal.
- Kerjasama sipil-militer di air traffic management (Civil-Military Aviation Cooperation) Indonesia dan Singapura serta penempatan personel di Singapore ATC Centre.
- Indonesia memiliki kendali pada delegasi layanan melalui evaluasi operasional.
- Peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan.
Dapat tabrak aturan
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai perjanjian penyesuaian ruang kendali udara atau Flight Information Region (FIR) yang diteken pemerintah Singapura dan Indonesia semestinya tidak perlu dilakukan. Sebab, perjanjian FIR tersebut berpotensi menabrak Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
"FIR yang seharusnya dikelola oleh Indonesia dalam ketinggian berapa pun saat perjanjian efektif berlaku ternyata di wilayah tertentu untuk ketinggian 0-37,000 kaki didelegasikan ke otoritas penerbangan Singapura," kata Hikmahanto melalui keterangan tertulisnya, Senin (31/1).
Ketinggian tersebut, kata Hikmahanto, bagi Singapura sangat krusial karena pesawat udara mancanegara melakukan pendaratan dan lepas landas di Bandar Udara Changi. Ia menduga, Singapura ingin tetap menjadikan Bandara Changi sebagai hub untuk berbagai penerbangan ke penjuru dunia.
“Boleh saja Indonesia berbangga bahwa pengelolaan FIR telah berhasil diambil alih oleh Indonesia setelah berpuluh-puluh tahun berjuang. Namun, dalam kenyataannya, Singapura masih tetap sebagai pihak pengelola karena mendapat pendelegasian,” ujarnya.
Berpotensi gagal untuk diratifikasi
Selain itu, ia menduga pengembalian FIR ini dikaitkan dengan perjanjian pertahanan. Menurut Hikmahanto, Singapura berstrategi bila perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif, negara bersedia untuk menyerahkan kendali atas FIR Kepulauan Riau ke Indonesia.
Hikmahanto menjelaskan bahwa Singapura memperhitungkan perjanjian pertahanan tidak akan diratifikasi oleh DPR. Mengingat, hal ini menjadi sumber kontroversi pada 2007 sehingga tidak pernah dilakukan ratifikasi.
“Bila ini kembali menjadi kontroversi saat ini dan akhirnya tidak diratifikasi oleh DPR maka Singapura tidak akan menyerahkan dokumen ratifikasi perjanjian FIR,” ujarnya.
Bila perjanjian pertahanan nantinya ditentang untuk disahkan, Singapura akan tetap memegang kendali atas FIR di atas Kepulauan Riau. Artinya perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif. Konsekuensi ikutannya adalah FIR tidak pernah beralih pengelolaannya ke Indonesia dan tetap dikelola oleh Singapura.