Tantangan Indonesia Keluar dari Ketergantungan Energi Fosil

Masih menghadapi masalah dalam hal penyediaan energi.

Tantangan Indonesia Keluar dari Ketergantungan Energi Fosil
Ilustrasi bauran energi baru terbarukan. ANTARA FOTO/Arnas Padda
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Fortune Recap

  • Indonesia menghadapi tantangan transisi energi dari batu bara ke energi bersih dan berkelanjutan
  • Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, menekankan adanya tantangan kuantitatif dan kualitatif dalam menyediakan energi yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
  • Emisi karbon di Indonesia berasal dari pembakaran batu bara di PLTU, industri, rumah tangga, pertanian, dan peternakan

Jakarta, FORTUNE - Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam upaya transisi dari energi berbasis fosil, khususnya Batu Bara, menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengatakan terdapat dua tantangan utama yang harus dihadapi Indonesia dalam proses ini, yakni tantangan kuantitatif dan kualitatif.

“Sebagai negara yang sedang berkembang, kita membutuhkan energi yang besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Tantangannya adalah bagaimana menyediakan energi tersebut, dan itu menjadi kewajiban negara," kata Sugeng dalam acara Coffee Morning Energy Edition dengan tajuk "Subsidi BBM Tepat Sasaran untuk Indonesia Maju, di Senayan Park, Jakarta, Rabu (18/9).

Lebih lanjut, Sugeng menekankan bahwa tantangan kualitatif tidak kalah penting. Energi yang tersedia haruslah energi bersih dan berkelanjutan.

"Pemanasan global dan perubahan iklim terjadi karena pemanfaatan Energi Fosil yang berlebihan. Oleh karena itu, sesuai dengan Perjanjian Paris, kita semua memiliki kewajiban untuk mengurangi Emisi karbon," kata dia.

Menurut Sugeng, salah satu sumber utama emisi karbon di Indonesia berasal dari pembakaran batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), yang saat ini menyumbang sekitar 67 persen dari total kapasitas listrik Indonesia yang mencapai 74 GW. Selain dari PLTU, emisi juga berasal dari sektor industri, rumah tangga, hingga pertanian dan peternakan.

Ia mencontohkan situasi di Eropa, tempat beberapa negara sempat mempertimbangkan untuk menutup peternakan karena tingginya emisi gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi. Meskipun rencana ini ditunda, hal ini menunjukkan betapa seriusnya perhatian dunia terhadap pelestarian bumi.

Target penurunan emisi Indonesia

Sugeng juga menyoroti kewajiban Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan Nationally Determined Contributions (NDC), Indonesia memiliki target untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen pada 2030.

Namun, target ini dinaikkan menjadi 32 persen melalui kebijakan business as usual. Pada 2050, Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan emisi hingga 42 persen, sebagai bagian dari upaya global mencapai Net Zero Emission (NZE).

"Tantangan ini tidak mudah, karena Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil, terutama batu bara," ujar Sugeng.

Cadangan batu bara Indonesia yang mencapai 38 miliar metrik ton dan produksi yang mencapai rata-rata 1 miliar ton per tahun menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki waktu sekitar 60 tahun untuk mengelola sumber daya ini.

Namun, Sugeng mengingatkan bahwa batu bara Indonesia memiliki kategori kalori rendah, yang apabila dibakar langsung akan menghasilkan emisi yang lebih besar.

Meski demikian, dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Priority Obligation (DPO), harga batu bara untuk kebutuhan dalam negeri, khususnya bagi PLTU, jauh lebih murah dibandingkan dengan harga ekspor, yakni sekitar US$50 per ton.

"Ini menjadi konsekuensi yang harus dihadapi, namun tidak bisa dipungkiri bahwa cepat atau lambat energi fosil harus digantikan dengan energi baru terbarukan (EBT)," kata Sugeng.

Upaya menekan emisi dari energi fosil

Sugeng menyatakan bahwa jika Indonesia masih ingin menggunakan energi fosil, maka emisinya harus ditekan.

"Ada standar emisi bahan bakar yang terus meningkat. Kita sudah masuk Euro 4, dan dunia sedang menuju ke sana karena knalpot kendaraan juga merupakan penyumbang emisi yang besar," ujarnya.

Dengan semua tantangan tersebut, transisi energi di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan kebijakan yang tepat dan komitmen bersama, Indonesia diharapkan dapat mencapai target penurunan emisi dan berkontribusi dalam upaya global untuk melawan perubahan iklim.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

IDN Channels

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Beban Kerja Tinggi dan Gaji Rendah, Great Resignation Marak Lagi
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil