Jakarta, FORTUNE - Co-Captain Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), Thomas Trikasih Lembong, mengatakan terdapat masalah pada kebijakan hilirisasi komoditas logam yang selalu dibanggakan oleh Presiden Joko Widodo, terutama Nikel.
Dalam hal ini, pemerintah terkesan mengesampingkan kondisi pasar dalam memperlakukan barang tambang tersebut.
"Ini sangat tidak berorientasi kepada pasar atau tidak market-oriented, tapi sangat—istilahnya government driven—didorong oleh hanya pemerintah. Tidak memperhatikan realita pasar yang ada dan tidak ramah kepada pasar," kata Lembong dalam diskusi publik yang diselenggarakan CSIS Indonesia, Rabu (6/12).
Pemerintah terlalu berfokus pada kebijakan hilirisasi nikel, tapi tidak memperhitungkan kondisi pasar walaupun memang, kata Tom, harga komoditas tersebut sempat melambung tinggi seiring dengan meningkatnya kebutuhan dunia terhadap Kendaraan Listrik.
Akibat harga tinggi itu, produsen baterai kendaraan listrik pun mencari penggantinya, yaitu bahan baku alternatif yang kegunaannya serupa dengan nikel.
"Kalau harga tinggi, apa yang terjadi? Substitusi. Jadi, nasabah kita tentunya tidak mau disandera oleh harga yang tinggi, dengan ketersediaan yang bergantung kepada sentimen pemerintah. Akhirnya apa? Mereka beralih kepada bahan baku yang lain," ujar Lembong.
Mencari pengganti nikel untuk baterai kendaraan listrik
Pada periode 2015-2017, kata Tom, 70 persen bahan baku baterai mobil listrik menggunakan nikel. Namun, pada akhirnya nikel bukan lagi satu-satunya bahan baku penting dalam pembuatan baterai.
Ia memberi contoh Tesla, mobil listrik produksi Elon Musk, yang sekarang telah beralih menggunakan baterai lithium ferrophosphate (LFP). Kemudian pabrikan otomotif lain seperti Ford Company, menurut Lembong, juga beralih ke baterai kendaraan listrik non-nikel.
“Sekarang menjadi semakin meluas adalah baterai mobil listrik yang namanya LFP yang menggunakan besi dan fosfat dan tidak mengandung sama sekali nikel, tidak mengandung sama sekali mangan, dan tidak mengandung sama sekali kobalt,” ujarnya.
Dengan banyaknya pihak yang beralih, dia memprediksi baterai yang masih menggunakan nikel hanya tersisa 30 persen pada 2030, dari yang sebelumnya 60-70 persen.