Jakarta, FORTUNE - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) belum mendapatkan bukti konkret terkait penimbunan minyak goreng yang menyebabkan kelangkaan. Kendati demikian, pihaknya menekankan apabila ditemukan penimbunan, ancamannya adalah pidana.
“Secara regulasi di Undang-Undang tentang Perdagangan dan itu bisa dipidana karena minyak goreng merupakan barang penting dan barang strategis yang tidak boleh ditimbun oleh pelaku usaha,” kata Ketua YLKI Tulus Abadi saat konferensi pers secara virtual, Jumat (11/2).
Bila mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Dalam kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan perdagangan nasional, pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting.
Hal ini berkaitan dengan pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan yang isinya berupa larangan menimbun barang pada kondisi tertentu. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting, dalam hal ini minyak goreng.
Ada pindana dan denda maksimal
Dalam konteks itulah, YLKI mengingatkan pelaku usaha untuk memperhatikan Pasal 107 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Pasal ini berisi ancaman sanksi pidana penjara maksimal 5 tahun, dan/atau pidana denda maksimal Rp50 miliar bagi pelaku usaha yang melanggar larangan menyimpan barang kebutuhan pokok atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Tulus pun mendorong kepolisian untuk begerak mencari tahu terkait lokasi penimbunan. Kasus kebakaran gudang minyak goreng di Ciracas, Jakarta Timur, Rabu (2/2), kata dia, harus diusut tuntas. Apakah memang ada dugaan penimbunan di sana, sehingga menyebabkan gudang tersebut terbakar.
“Indikator-indikator penimbunan harus clear, jangan sampai ternyata belum didistribusikan atau indikasi lainnya seperti apa,” ujarnya.
Alasan minyak goreng ritel langka
Selain itu, Tulus juga mengungkapkan penyebab kelangkaan di ritel modern. Dia mengatakan kapasitas penyimpanan stok minyak goreng di ritel modern lebih kecil dibandingkan dengan pasar tradisional, sehingga terjadi keterbatasan stok.
Ketika ada stok minyak goreng, katanya, pembeli langsung menyerbu karena harganya sesuai acuan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. “Bahwa kapasitas pasar tradisional bisa menampung 75 persen dari total stok minyak goreng di pasaran, sedangkan ritel modern cuma 25 persen,” ujarnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022, HET minyak goreng sawit ditetapkan Rp11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp13.500 per liter untuk minyak goreng kemasan sederhana, dan Rp14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan premium.
Alasan lainnya, menurut Tulus, ritel modern mempunyai syarat-syarat tertentu untuk memasukkan minyak goreng ke etalasenya. “Sedangkan di pasar tak ada kriteria tertentu, jadi aksesnya lebih gampang,” katanya.
Hasil survei kesesuaian harga minyak goreng
YLKI melakukan survei terhadap ketersediaan minyak goreng subsidi di masyarakat. Survei dilakukan dengan mendatangi secara langsung konsumen, produsen, dan penjual.
Hasil survei menunjukkan kesesuaian dengan keluhan konsumen. Langkanya minyak goreng bersubsidi, yakni ketika jumlah toko yang tersedia minyak goreng bersubsidi hanya 3 toko dan 1 toko dengan pilihan minyak harga subsidi dan non-subsidi. Pihaknya mendatangi lebih dari 30 toko ritel dan pasar modern.
Kesimpulan wawancara, semua konsumen baik kalangan atas maupun menengah ke bawah mengalami dampak dari kelangkaan minyak goreng ini.