Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan, memproyeksi kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 akan memperkuat penerimaan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). DJP menjelaskan penerimaan negara dari PPN akan dialokasikan untuk membiayai program pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat kurang mampu.
Berdasarkan baseline penerimaan PPN 2023, dengan asumsi basis yang sama, potensi penerimaan PPN (PPN DN dan PPN Impor) dari penyesuaian tarif 11 persen menjadi 12 persen mencapai Rp75,29 triliun.
“Dari penyesuaian tarif 11 persen menjadi 12 persen ini mencapai (penerimaan negara) Rp75,29 triliun,” tulis DJP dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (23/12).
Di sisi lain, DJP juga menjelaskan kenaikan tarif PPN 2025 merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sesuai kesepakatan pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.
“Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” tulis DJP.
Adapun dijelaskan bahwa kenaikan tarif PPN 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen. Terkecuali beberapa jenis barang kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah “Minyakita”, tepung terigu, dan gula industri.
Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak memengaruhi harga ketiga barang tersebut.
Lebih lanjut, berdasarkan hitungan pemerintah, inflasi saat ini terbilang rendah di level 1,6 persen. Dampak inflasi akibat kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen adalah 0,2 persen.
DJP menjelaskan inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5–3,5 persen. Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen juga diklaim tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan.
Melihat kembali kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, DJP menyebut tidak menyebabkan lonjakan harga barang atau jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat.
Pada periode tersebut, dampak kenaikan PPN terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan. Di tahun 2022, tingkat inflasi adalah 5,51 persen, tapi terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi COVID-19. Sepanjang 2023–2024, tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08 persen.