Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 63.947 pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang periode Januari hingga Oktober 2024. Adapun, data tersebut mencakup seluruh provinsi di Tanah Air.
Dalam Satu Data Kemnaker yang diakses pada Senin (18/11), tercatat pekerja yang terkena PHK paling banyak terjadi di Provinsi DKI Jakarta dengan total 14.501. Disusul Provinsi Jawa Tengah sebanyak 12.489 pekerja.
Kemudian, di posisi ketiga ditempati Provinsi Banten dengan 10.702 pekerja terkena PHK, Provinsi Bangka Belitung 1.894 pekerja, Sulawesi Tengah 1.812, dan sisanya tersebar di seluruh provinsi.
Diketahui, data tersebut hasil dari laporan bulanan Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Kemnaker dan Jamsostek.
Di sisi lain, Kemnaker juga mencatat jumlah kasus Mogok Kerja sepanjang Januari hingga September 2024 di seluruh provinsi.
Dalam periode tersebut, tercatat ada 201 kasus mogok kerja yang paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat sejumlah 37 kasus, Provinsi DKI Jakarta 36 kasus, Provinsi Kalimantan Timur 31 kasus dan sisanya tersebar di seluruh provinsi.
Dari kasus mogok yang terjadi, Kemnaker mencatat jumlah pakerja yang terlibat sebanyak 30.547 orang dengan data terbanyak ada di Kalimantan Barat sebanyak 7.635 pekerja, disusul Provinsi Jawa Barat sebanyak 4.750 pekerja, Provinsi Jawa Timur 4.500 pekerja, dan sisanya tersebar di provinsi lainnya.
Kasus mogok kerja tersebut telah berkontribusi pada jam kerja yang hilang sebesar 244.376 jam sepanjang Januari hingga September 2024.
PHK di industri tekstil
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta membeberkan setidaknya tercatat 30 pabrik tekstil di Tanah Air yang memutuskan untuk tutup terhitung sejak kuartal III-2022 hingga 2024.
Selain menutup operasional, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga banyak yang merelokasi pabriknya.
APSyFI juga mendata bahwa seluruh pabrik tekstil yang tutup berakibat pada PHK mencapai belasan ribu karyawan.
Redma menjelaskan, banyaknya pabrik tekstil di Indonesia yang tumbang diakibatkan karena arus barang impor produk TPT, baik legal maupun ilegal, yang membanjiri pasar dalam negeri sehingga produk lokal tidak bisa bersaing.
“Karena produk impor ini dijual dengan harga dumping. Terlebih yang ilegal dijual tanpa bayar pajak dan bea masuk,” ujar Redma saat dihubungi, Kamis (7/11).
Berikut daftar 30 pabrik yang tutup dan terdampak kebijakan impor berdasarkan catatan APSyFI:
- PT Lawe Adyaprima
- PT Grand Pintalan
- PT Centex - Spinning Mills
- PT Damatex
- PT Argo Pantes - Bekasi
- PT Asia Citra Pratama
- PT Kaha Apollo Utama
- PT Mulia Cemerlang Abadi
- PT Lucky Tekstil (PHK 100 orang)
- PT Grand Best (PHK 300 orang)
- PT Delta Merlin Tekstil I Duniatex Grup (PHK 660 orang)
- PT Delta Merlin Tekstil II Duniatex Grup (PHK 924 orang)
- PT Pulaumas Tekstil (PHK 460 orang)
- PT Tuntex (PHK 1.163 orang)
- Agungtex Grup (Sekitar 2.000 orang dirumahkan)
- PT Kabana (PHK 1.200 orang)
- PT Pismatex (Pailit dan PHK 1.700 orang)
- PT Sai Aparel (Relokasi sebagian)
- PT Adetex (Sekitar 500 orang dirumahkan)
- PT Nikomas
- PT Chingluh (PHK sekitar 2.000 orang)
- PT HS Aparel (Tutup)
- PT Starpia (Tutup)
- PT Djoni Texindo
- PT Efendi Textindo
- PT Fotexco Busana Internasional
- PT Wiska Sumedang (Tutup dan PHK 700 orang)
- PT Alenatex (Tutup dan PHK 700 orang)
- PT Kusuma Group (3 perusahaan tutup dan PHK 1.500 orang)
- PT Primissima (PHK 402 orang)