Jakarta, FORTUNE – Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) mengumumkan bahwa 2025 merupakan tahun terakhir mereka menjadi penyelenggara ibadah Haji untuk jemaah Indonesia. Penyelenggara ibadah haji mulai 2026 akan digantikan oleh Badan Penyelenggara Haji (BPH) yang sudah dibentuk Presiden Prabowo Subianto.
Menteri Agama (Menag) RI, Nasaruddin Umar mengatakan penyelenggaraan ibadah haji 2025 akan menjadi yang terakhir dikelola oleh Kemenag RI. Dalam pernyataannya, dia menegaskan komitmen untuk menjadikan tahun ini sebagai momentum yang penuh kedamaian dan kenyamanan bagi para jemaah haji Indonesia.
Menurut Peneliti Haji dan Umroh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, keputusan ini menandai langkah besar dalam tata kelola penyelenggaraan haji. Dia berharap hal itu membawa peningkatan kualitas layanan kepada jemaah Indonesia.
Selain itu, Dadi menilai bahwa transisi ini merupakan momentum penting untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap tata kelola haji di Indonesia.
“Pengelolaan ibadah haji selama ini menghadapi sejumlah tantangan, seperti transparansi dalam pengelolaan dana, alokasi kuota, hingga fasilitas di Tanah Suci,” ungkap Dadi dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (20/1).
Kemudian Dadi menyebut pengalihan penyelenggaraan haji dari Kemenag RI ke BPH mulai 2026 dapat menjadi reformasi paling progresif dalam tata kelola ibadah haji di Tanah Air. Meskipun langkah ini diharapkan bisa membawa peningkatan kualitas layanan, proses transisi tersebut juga harus diawasi secara ketat agar tidak menimbulkan tantangan baru.
Beberapa catatan untuk penyelenggaraan Haji 2026
Dadi juga mengatakan ada beberapa catatan penting untuk perbaikan penyelenggaraan haji Indonesia ke depan.
Pertama, reformasi tata kelola dan transparansi. Salah satu masalahnya adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana haji dan distribusi kuota.
“Kasus pengalihan kuota tambahan yang ramai dibicarakan pada 2024 menjadi pengingat bahwa regulasi harus diperketat untuk memastikan keadilan dan mencegah penyimpangan,” ujar Dadi.
Kedua, lanjut dia, perbaikan fasilitas di Tanah Suci. Masalah kronis seperti kepadatan di Mina dan Arafah dan minimnya fasilitas sanitasi menunjukkan perlunya kerja sama lebih erat antara Pemerintah Indonesia dan Otoritas Arab Saudi.
“Kita perlu memastikan bahwa fasilitas dan logistik tidak hanya cukup, tetapi juga memenuhi standar kenyamanan dan keselamatan,” tambah Dadi.
Ketiga, peningkatan pelatihan jemaah haji. Dadi menyoroti pentingnya pelatihan yang lebih baik bagi jemaah, termasuk aspek teknis dan spiritual.
“Sayang sekali jika manasik haji hanya menjadi rutinitas formalitas. Padahal pemahaman jemaah tentang ibadah dan tantangan di lapangan sangat krusial untuk keamanan dan kenyamanan mereka selama haji,” tutur dia.
Keempat, pengawasan independen. Dadi juga menekankan pentingnya pengawasan independen dalam penyelenggaraan haji, terutama ketika nanti BPH mulai beroperasi.
“Kita membutuhkan pengawas yang independen dan memiliki kredibilitas untuk kebaikan BPH sebagai lembaga berwibawa ke depannya, dan memastikan bahwa layanan tetap berorientasi pada kebutuhan jemaah, bukan yang lain,” kata dia.
Harapan untuk masa depan penyelenggaraan haji
Di samping itu, Dadi memandang bahwa pengurangan biaya haji menjadi Rp55,4 juta untuk 2025 layak diapresiasi sebagai langkah positif dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, perlu dipastikan bahwa efisiensi ini tidak boleh mengorbankan kualitas layanan.
“Biaya yang lebih rendah harus sejalan dengan peningkatan mutu, bukan menjadi alasan untuk menurunkan standar pelayanan,” tegas Dadi.
Dia juga menambahkan, transisi ini harus menjadi momen refleksi bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan haji.
“Penyelenggaraan haji adalah tanggung jawab besar. Reformasi ini hanya akan berhasil jika seluruh pihak mengutamakan prinsip layanan berbasis jemaah—bukan profit atau kepentingan politik,” pungkas Dadi.