Jakarta, FORTUNE - Isu boikot pajak menyembul di tengah-tengah perhatian publik yang tersedot perilaku pamer harta pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Salah satu pemicunya adalah pernyataan mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau PBNU, Said Aqil Siradj, yang menyebut kasus penganiayaan oleh anak pejabat pajak mengingatkannya akan kasus Gayus Tambunan pada 2010–2011.
Pada 2012, di tengah ramainya kasus mafia pajak, Said pernah menyerukan boikot jika uang pajak terus diselewengkan. Bahkan, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai mengutus staf khususnya untuk membicarakan hal tersebut.
"Keputusan para kyai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan, NU akan menempuh sikap tegas. Warga NU tidak usah bayar pajak, waktu itu," kata Said dalam unggahan video di Instagram pribadinya, Selasa (28/2).
Seruan boikot pajak bukan baru terjadi akhir-akhir ini saja. Aksi serupa juga muncul pada momen-momen tertentu seperti perubahan aturan perpajakan hingga kontestasi pemilu.
Berikut aksi-aksi boikot pajak di Indonesia:
Gerakan 1.000.000 Facebooker Boikot Pajak
Pada 2010, gerakan boikot pajak tumbuh di dunia maya. Sebuah group Facebook bernama “Gerakan 1.000.000 Facebookers Dukung Boikot Bayar Pajak untuk Keadilan” menggalang dukungan 5.641 anggota dari berbagai kalangan.
Group ini lahir dari ketidakpercayaan publik terhadap pengelola pajak negara, yang dipantik oleh kasus Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak golongan III-A, yang menggembol duit Rp28 miliar.
"Pantaskah pejabat negara menikmati kemewahan yang didanai oleh duit rakyat [dari pajak rakyat], sementara masih ada puluhan juta rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan? Masihkah mereka punya kepekaan? Pantaskah mereka menggunakan mobil mewah yang didanai oleh duit rakyat tersebut?" demikian tulis Alexander A Spinoza, pendiri grup tersebut.
Mochamad Tjiptardjo, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Pajak, mengaku khawatir kasus Gayus akan mempengaruhi penerimaan pajak pemerintah pada 2010.
Karena itu, ia berjanji kepada publik akan menuntaskan masalah tersebut sehingga tidak merembet ke mana-mana. "Kami berjuang sekuat tenaga, tapi kami tidak akan berhasil kalau tidak dibantu masyarakat," ujarnya.
Saat itu Tjiptardjo menegaskan instansinya akan bekerja ekstra keras untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. "Beri kami kesempatan untuk berbenah," kata Tjiptardjo.
Ancaman boikot pajak oleh pengusaha
Aksi boikot pajak juga pernah dilakukan kalangan pengusaha. Pada 2010 juga. Pemerintah Kota Batu, Jawa Timur, mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pungutan Pajak, yang menyatakan hotel dan restoran akan dikenai pajak 10 persen, tempat wisata dan hiburan 35 persen, panti pijat dan spa 75 persen.
Tak ayal, para pengusaha hotel, restauran, tempat hiburan dan tempat wisata di Kota Batu memboikot pembayaran pajak hiburan.
Ketua Pengusaha Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) Kota Batu, Uddy Syaifudin, seperti dikutip situs web resmi Bappeda Jatim, menjelaskan boikot tersebut dilakukan karena Pemkot Batu mengubah sistem pembayaran pajak dari sistem target menjadi sistem omset yang nilainya merugikan pengusaha.
“Kami tak akan membayar pajak sampai aturan baru direvisi,” kata Uddy pada 22 Maret 2010. “Kami minta Perda tersebut direvisi menjadi sistem target. Dengan sistem omset, besaran pajak yang harus dibayar antara 10 persen hingga 75 persen. Padahal di daerah lain tak sebesar itu."
Petani ancam boikot pajak
Tahun lalu, ancaman boikot pajak juga muncul dari kalangan petani menyusul kelangkaan pupuk. Ancaman boikot pajak meluncur dari perwakilan petani yang tergabung dalam Forum Masyarakat Petani Pati Selatan (FMP2S) saat berunjuk rasa di depan kantor DPRD Pati.
Dilansir situs citasco.com, Kades Wuwur, Kecamatan Gabus, Cipto, dalam audiensi di ruang Gabungan I juga menyampaikan ancaman serupa jika pupuk terus langka. Pasalnya, kata dia, pupuk merupakan kebutuhan mendesak petani agar tanaman padinya bisa panen.
Ancaman serupa juga pernah diutarakan dalam aksi ratusan petani di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, pada 2007. Seperti diwartakan Tempo, mereka mengancam akan memboikot pembayaran pajak bumi dan bangunan pedesaan 2007.
Tindakan itu merupakan sebentuk protes karena ratusan hektare sawah mereka tidak mendapatkan pasokan air dari Sungai Ciujung.
"Kami tak mau bayar pajak sebelum pemerintah membenahi saluran air irigasi untuk petani," kata Sukardi, seorang petani dari Desa Alang-alang, Kecamatan Tiryasa, saat melakukan protes ke kantor kecamatan setempat, 13 Juni 2007.
“Boro-boro bayar pajak, untuk makan saja sulit. Sawah dan empang tidak menghasilkan apa-apa. Bagaimana mau bayar pajak," kata Sukardi.
Seruan boikot pajak politisi Gerindra
Pada 2019, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono, mengajak para pendukung Prabowo Subianto untuk mengabaikan pembayaran pajak jika pasangan Joko Widodo–Ma'ruf Amin terpilih sebagai pemenang Pilpres 2019 dan memimpin Indonesia.
Masyarakat yang telah memberikan pilihan pada pasangan Prabowo–Sandiaga Uno tidak perlu mengakui hasil Pilpres 2019.
Namun, belakangan Ketua DPP Partai Gerindra, Desmond Junaidi, menegaskan ajakan Poyuono bukanlah instruksi partai.
"Arief Poyuono itu cenderung pendapat pribadi," kata Mahesa.