Jakarta, FORTUNE - Calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 01, Muhaimin Iskandar, menyinggung persoalan bioregional dalam perencanaan pembangunan nasional. Hal tersebut dia tanyakan kepada Cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka, dalam debat yang berlangsung Minggu (21/1) malam.
"Indonesia terdiri dari berbagai bioregional, di mana kita harus betul-betul mengerti agar pembangunan kita tepat sasaran dan tumbuh lebih baik. Bagaimana strategi Anda melaksanakan pembangunan berbasis bioregional itu agar keadilan iklim terjaga, keadilan sosial terwujud, keadilan ekologi terlaksana dengan baik, keadilan antar generasi juga terwujud sekaligus keadilan sosial," ujarnya.
Lantas apa itu bioregional?
Istilah bioregional atau bioregion muncul dalam naskah akademik revisi Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE).
Dalam naskah yang disusun Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR pada 2016 tersebut, dijelaskan bahwa pembagian bioregion di Indonesia didasarkan pada biogeografi flora dan fauna sebagaimana tecermin pada garis Wallace, garis Weber, dan garis Lydekker.
Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Bappenas, ada tujuh bioregion di Indonesia, yaitu: Sumatera, Jawa dan Bali, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Lesser Sunda Island), Maluku, dan Papua.
Bioregion di Papua, misalnya, menonjolkan luasnya bentang alam dan kekayaan tinggi dalam keanekaragaman jenis hayati dan endemisme, yang berpengaruh signifikan terhadap fungsi ekosistemnya.
Mengingat bahwa sumber daya hayati melibatkan komponen seperti sumber daya genetik, spesies, dan ekosistem, gambaran tentang sumber daya alam hayati Indonesia saat ini dibuat berdasarkan komponen-komponen tersebut.
Sementara, keanekaragaman ekosistem Indonesia mencakup ekosistem alami yang terbentuk tanpa campur tangan manusia, dan ekosistem buatan yang dibentuk oleh intervensi manusia.
Jika dirunut lebih jauh, keanekaragaman ekosistem alami di Indonesia terbagi menjadi 19 tipe, melibatkan wilayah dari Sumatera hingga Papua.
Ke-19 tipe ekosistem ini terdiri dari 74 tipe vegetasi yang tersebar di hampir seluruh bioregion Indonesia yang mencerminkan kekayaan jenis flora dan fauna pada setiap ekosistem--meskipun sampai saat ini seluruh informasi vegetasi di wilayah Indonesia belum sepenuhnya teridentifikasi.
Pada intinya, naskah akademik tersebut bermaksud menjabarkan bahwa dengan keberagaman dan kekhasan ekosistemnya, Indonesia merupakan tempat yang kaya potensi keanekaragaman spesies satwa dan tumbuhan, termasuk spesies endemik yang hanya dapat ditemukan di wilayah Indonesia.
Namun, potensi ini dihadapkan pada ancaman kepunahan akibat berbagai faktor seperti kehilangan habitat, kerusakan lingkungan, fragmentasi habitat, pemanfaatan berlebihan, perburuan, dan perdagangan ilegal.
"Paradigma konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan kawasan konservasi di masa lalu lebih menekankan aspek perlindungan, namun kurang memperhatikan aspek pemanfaatan secara berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan konservasi," demikian bunyi kesimpulan naskah akademik tersebut, dikutip Fortune Indonesia, Senin (22/1).
UU KSDAHE, yang saat ini berlaku, perlu direvisi karena masih belum sepenuhnya mencakup perubahan sistem pembagian kewenangan dari sentralisasi ke desentralisasi.
Kemudian, substansi konservasi yang tersebar pada beberapa peraturan, menyebabkan tumpang tindih dan ketidakjelasan kewenangan antar kementerian pada bidang konservasi.
"Hal ini belum memberikan peran yang optimal kepada masyarakat hukum adat dan masyarakat sekitar hutan. Kurangnya peran serta masyarakat, serta penegakan hukum yang dirasakan masih lemah, perlu segera diatasi agar pelaksanaan konservasi dapat berjalan lebih efektif," demikian naskah akademik tersebut.
RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem (KKHE), yang merupakan perubahan atas UU KSDAHE, dirancang untuk mencakup aspek perencanaan, perlindungan, pemanfaatan, pemulihan, kewenangan pemerintah pusat dan daerah, partisipasi masyarakat hukum adat di sekitar kawasan konservasi, pengelolaan data dan informasi, pendanaan, partisipasi masyarakat, kerjasama internasional, pengawasan, penyelesaian sengketa, serta larangan dan sanksi.