Jakarta, FORTUNE - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, mengusulkan sejumlah pengubahan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di parlemen. Salah satunya, perubahan definisi dari energi baru dan sumber energi baru yang tercantum dalam RUU EBT.
"Pemerintah mengusulkan perubahan dengan mempertimbangkan kriteria mengikuti standar internasional emisi rendah karbon," ujarnya dalam rapat di Komisi VII, Selasa (29/11).
Dalam Pasal 9 RUU tersebut, sumber energi baru terdiri dari nuklir, hidrogen, gas metana batu bara, batu bara tercairkan, batu bara tergaskan, dan sumber energi baru lainnya. Produk batu bara tersebut yang belakangan kerap jadi perdebatan dan dinilai tidak layak masuk dalam kategori sumber energi baru dalam RUU EBT.
Pemerintah mengusulkan substansi domestic market obligation (DMO) batu bara dalam bab transisi energi dan peta jalan dihapus. Sebab, ketentuan tersebut telah diatur dalam beleid terkait sub sektor mineral dan batu bara (minerba) secara mendetail.
Pemerintah menyetujui pula pembentukan majelis tenaga nuklir (MTN) dan mengusulkan kewenangan MTN, "yaitu terkait hal-hal pengkajian kebijakan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi, serta penyusunan rekomendasi kebijakan," katanya.
Pelaksana pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) diusulkan badan usaha yang memiliki kompetensi dalam bidang ketenaganukliran untuk kelistrikan. "Pemerintah menyetujui substansi terkait persetujuan pembangunan PLTN yang diusulkan DPR, dan mengusulkan persetujuan dimaksud berlaku untuk PLTN dengan teknologi sebelum generasi ketiga," ujarnya.
Untuk pertambangan galian nuklir, pemerintah mengusulkan tidak diatur dalam RUU EBT karena telah diatur dalam UU Minerba.
Kontribusi EBT terhadap penurunan emisi
Arifin juga menuturkan Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) kepada DPR dalam waktu dekat. "Secara formal ini [penyerahan DIM] harus melalui Setneg [Kementerian Sekretariat Negara], tapi drafnya kami serahkan," ujarnya.
RUU ini merupakan upaya melengkapi dan menyempurnakan regulasi EBT serta memberikan landasan pengaturan yang lebih strategis untuk transisi energi dan peta jalan menuju ekonomi hijau.
Berdasarkan kajian IRENA pada 2017, EBT pada 2050 dapat berkontribusi 44 persen terhadap total upaya penurunan emisi gas rumah kaca dari referensi dengan estimasi 45 giga ton CO2e per tahun menjadi 13 giga ton CO2e per tahun sesuai skenario new and renewable energy map.
RUU EBT merupakan inisiatif dari DPR RI dan menjadi prioritas pembahasan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022. Alas hukumnya adalah Keputusan DPR RI Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tertanggal 7 Desember 2021 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2022 dan Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024.