Jakarta, FORTUNE - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mencemaskan konflik antara Iran dan Israel yang memanas di Timur Tengah. Pasalnya, ekskalasi tersebut bisa berakibat pada gejolak Harga Minyak Dunia yang berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Karena kalau itu terjadi maka pasti akan membebani APBN kita," ujar Bahlil usai menghadiri acara Penganugerahan Penghargaan Keselamatan Migas Tahun 2024 di JS Luwansa, Senin (7/10).
Menurutnya, kenaikan harga minyak akibat perang akan memberatkan kas negara karena berpengaruh pada besaran subsidi energi yang harus dibelanjakan pemerintah.
Namun, jika pergerakan harga minyak global tidak jauh dari asumsi makro APBN, dampaknya tidak akan terlalu besar bagi APBN.
"Kalau sampai dengan harga masih dalam batas APBN, itu enggak ada pengaruh. Artinya, kalau perang terjadi dan harga minyak dunia tidak bergerak, itu enggak apa-apa. Tapi kalau perang terjadi kemudian harga minyak dunia naik, itu berdampak pada perekonomian dan beban keuangan APBN kita," katanya.
Sebaliknya, jika harga minyak global terkoreksi, Indonesia bisa beroleh keuntungan karena beban subsidi energi dapat ditekan. Penurunan harga minyak juga akan berefek positif bagi stabilitas APBN.
Lebih jauh dari itu, ia juga menyinggung bahwa sebagai net importer minyak, Indonesia dapat tertekan jika harga minyak melambung. Pasalnya, devisa yang dibutuhkan untuk menambal impor bisa menguras cadangan devisa yang Indonesia miliki.
"Karena kita impornya kurang lebih [masih] sekitar 900 sampai 1 juta barel per hari, dan impor memakai harga dunia," ujarnya.
Sebagai informasi, dalam asumsi makro APBN 2025, pemerintah telah menetapkan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar US$80 per barel. Kemudian lifting minyak sebesar 605.000 barel per hari (bph), serta lifting gas sebesar 1,005 juta barel setara minyak per hari.
Adapun dalam APBN 2024, ICP ditetapkan sebesar US$82 per barel.