Jakarta, FORTUNE - Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) Irfan Setiaputra berharap tarif batas atas (TBA) tiket pesawat ditinjau ulang seriring dengan perkembangan kondisi eksternal limat tahun terakhir.
Pasalnya, nilai tukar atau kurs (exchange rate) serta harga avtur yang fluktuatif berpengaruh terhadap biaya (cost) yang dikeluarkan Garuda Indonesia untuk menjalankan operasionalnya.
"Oleh sebab itu, kita juga lagi diskusi sama Kemenhub untuk mohon juga di-review, dilihat TBA ini. Artinya jangan TBA selama lima tahun tidak naik. Ini exchange rate dibanding lima tahun lalu berapa, harga avtur dibandingkan lima tahun lalu berapa," ujarnya seperti dikutip Antara, Minggu (12/5).
Menurut Irfan, TBA tiket pesawat juga belum berubah sejak ditetapkan pada 2019. Jika perubahan tak segera dilakukan, ia khawatir akan ada banyak maskapai yang menghadapi permasalahan serupa Garuda.
"Usulan kita lebih fleksibel terhadap kondisi eksternal. Exchange rate maupun harga avtur kan kita tidak bisa kontrol. Kita juga tidak bisa minta Pertamina untuk terus-terusan kasih diskon, bukan begitu caranya kan," tuturnya.
Sebagi informasi, erevisi TA tiket pesawat juga pernah diusulkan Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) pada November 2023. Bahkan asosiasi tersebut meminta TBA dihapus sehingga Harga Tiket Pesawat diserahkan kepada mekanisme pasar.
Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja juga mengatakan bahwa tren dan dinamika industri penerbangan saat ini tidak terlepas dari harga avtur dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Kedua faktor eksternal tersebut sulit untuk dikontrol oleh industri.
Namun menurut Kemenhub, TBA atas tiket pesawat didasarkan pada Undang-Undang (UU) Penerbangan. Jika TBA ingin dihapuskan, maka keputusan tersebut harus didahului oleh revisi UU. Adapun penetapan TBA dalam UU Penerbangan salah satunya bertujuan untuk melindungi konsumen agar tidak dibebani biaya-biaya di luar kewajaran.
Kinerja Garuda
Meski menghadapi berbagai tantangan dari sisi biaya, Garuda Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan pendapatan sepanjang tahun ini. Pada tiga bulan pertama 2024, pendapatan usaha secara grup tumbuh 18,07 persen menjadi US$711,98 juta dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Pada kinerja kuartal yang dikenal sebagai periode low season bagi industri penerbangan tersebut, Garuda Indonesia secara grup juga menekan rugi bersih sebesar 21,10 persen menjadi US$86,82 juta dibandingkan rugi besar pada kuartal I 2023 sebesar US$110,04 juta.
Adapun sepanjang tahun ini, emiten bersandi GIAA tersebut menargetkan penguatan armada dengan penambahan delapan pesawat yang akan datang secara bertahap. Kedelapan pesawat tersebut terdiri atas empat narrow body jenis Boeing 737-800NG dan empat wide-body yang terdiri dari jenis Boeing 777-300ER, serta Airbus 330-300.
"Kami rencana mau tambah delapan (pesawat) tahun ini, tapi masih belum (realisasi). Ini (penambahan pesawat) sewa, masuknya di (alokasi) opex (operating expenditure/pengeluaran untuk biaya operasional)," kata Irfan.