Jakarta, FORTUNE - Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Setianto menilai Indonesia perlu mewaspadai ketegangan geopolitik antara Tiongkok dan Taiwan. Sebab, kondisi tersebut dapat mempengaruhi kinerja perdagangan Indonesia.
Tiongkok merupakan mitra dagang strategis Indonesia dengan kontribusi terhadap ekspor maupun impor di atas 20 persen. Untuk komoditas sirkuit elektronik terpadu atau integrated circuits, Negeri Tirai Bambu bahkan merupakan pengekspor terbesar kedua di dunia dan eksportir komputer terbesar utama di dunia, termasuk suku cadang mesin perkantoran.
"Perkembangan ini perlu kita waspadai karena Tiongkok dan Taiwan juga penting dalam perdagangan internasional Indonesia," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (15/8),
Di sisi lain, Taiwan juga mitra dagang yang tak kalah penting. Ekspor Indonesia ke Taiwan juga cenderung mengalami peningkatan beberapa waktu terakhir. Sementara di aras global, Taiwan merupakan eksportir integrated circuits terbesar pertama di dunia dan eksportir office machine parts terbesar keempat di dunia.
"Kita ketahui bahwa Tiongkok dan Taiwan adalah eksportir utama untuk komponen elektronik dunia," ujar Setianto. "Jadi, terkait dengan catatan geopolitik ini, Cina dan Taiwan menjadi sangat strategis bagi perdagangan internasional indonesia."
Pemerintah terus pantau konflik kedua negara
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan pemerintah terus memantau perkembangan geopolitik kawasan seiring memanasnya hubungan Tongkok dan Taiwan.
Sebab, meski sejauh ini dampaknya belum terlihat signifikan, ketegangan kedua negara tersebut bisa mempengaruhi sektor perdagangan dan investasi Indonesia jika berujung pada konflik terbuka seperti Rusia dan Ukraina.
"Tentu kalau dari sisi perekonomiannya kami pantau ini sebagai risiko yang sifatnya eksogen. Artinya ini adalah di luar kontrol dari perekonomian Indonesia. Sehingga dampaknya diperkirakan akan bersifat spillover," ujarnya dalam taklimat media, Senin (8/8).
Menurut Febrio, berbagai negara termasuk Indonesia sudah harus menyiapkan kebijakan mengantisipasi kemungkinan terburuk dari konflik tersebut. Dalam hal ini, Indonesia juga telah mengedepankan diplomasi ekonomi demi membuka mata negara-negara yang tengah berkonflik bahwa kondisi itu telah menyebabkan negara miskin makim tertekan.
"Di dalam G20 kita sudah menyuarakan bagaimana banyak negara-negara miskin ini sudah masuk ke dalam krisis pangan dan nutrisi," katanya.
Pemerintah akan terus menjaga ketahanan ekonomi internal, di antaranya dengan melakukan diversifikasi aktivitas ekspor dan investasi. Sebab, dia mengatakan saat ekonomi Cina kuartal II-2022 hanya tumbuh 0,4 persen, dampaknya pun terasa ke perekonomian domestik.
"Konteks dampaknya terhadap Indonesia memang sejauh ini kita lihat cukup terbatas. Tapi tentu ini harus kita waspadai ke depan," ujarnya.