China Diramal Kuasai Pasokan Panel Surya pada 2025

Dominasi panel surya China bisa hambat transisi EBT.

China Diramal Kuasai Pasokan Panel Surya pada 2025
Panel surya di PLTS Hotel Santika Premiere, Palembang. (ANTARAFOTO/Nova Wahyudi)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional (IEA) Fatih Birol mengatakan peran instrumental China dalam mendorong industri manufaktur solar panel telah mendorong tenaga surya menjadi sumber energi hijau termurah di seluruh dunia saat ini. 

Selama dua dekade terakhir, kebijakan industri yang dipimpin China—seperti miliaran subsidi dan keringanan pajak untuk perusahaan yang terlibat dalam produksi panel surya—telah memungkinkan China menjadi produsen solar panel nomor wahid dunia, melompati AS—penemu teknologi fotovoltaik surya (PV).

Biaya produksi tenaga surya di China juga tercatat 35 persen lebih rendah dibandingkan Eropa, 20 persen lebih rendah daripada di AS, dan 10 persen lebih rendah ketimbang India. 

Dalam kurun delapan tahun—2010 hingga 2018—saja, biaya listrik dari proyek fotovoltaik surya skala utilitas turun 77 persen berkat manufaktur China. Sementara selama periode itu kapasitas surya dunia tumbuh pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan hampir 43 persen, menurut data dari Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA)

Namun, menurut IEA, dominasi China atas rantai pasokan surya global juga membawa kabar buruk sebab berpotensi menghambat transisi energi bersih dunia.

Badan yang berbasis di London, Inggris, tersebut meramalkan dunia nyaris akan bergantung penuh pada China untuk memasok blok bangunan penting untuk produksi panel surya hingga 2025.

"Tingkat konsentrasi dalam rantai pasokan global ini akan mewakili kerentanan yang cukup besar, [dan] PV surya tidak terkecuali," kata Birol dikutip dari Fortune, Senin (11/6).

Sebagai catatan, dalam peta jalan menuju net zero emissions 2050, IEA menyebut kapasitas tenaga surya tahunan perlu tumbuh empat kali lipat menjadi 630 gigawatt (GW) pada 2030.

Dan ketika negara-negara meningkatkan kapasitas energi hijau mereka, konsentrasi manufaktur tenaga surya di China berpotensi memberikan "tekanan lebih lanjut [ed]" terhadap rantai pasok ketika permintaan meningkat. 

Impor Eropa untuk sel surya dan bagian modul China, misalnya, telah melonjak 127 persen pada Mei dibandingkan periode sama tahun lalu. Peningkatan tersebut terjadi karena Eropa berencana memasang 600GW solar panel pada 2030 dan mengekang ketergantungannya pada energi Rusia.

Di China, tahap-tahap utama pembuatan panel surya—seperti penambangan dan peleburan polisilikon, bahan baku utama yang digunakan untuk membuat sel fotovoltaik (PV) untuk panel surya—sendiri melampaui 80 persen industri. Angka ini akan tumbuh menjadi lebih dari 95 persen dalam tiga tahun ke depan, karena fasilitas manufaktur dan pemrosesan yang sedang dibangun mulai beroperasi, menurut laporan IEA.

Karena itu, IEA menyerukan berbagai negara untuk mendiversifikasi sumber panel surya mereka dan meningkatkan kapasitas manufaktur mereka sendiri untuk mengurangi rantai pasokan, perdagangan, dan risiko geopolitik karena terlalu bergantung pada solar China. 

Magazine

SEE MORE>
Investor's Guide 2025
Edisi Januari 2025
Change the World 2024
Edisi Desember 2024
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024

Most Popular

Emas Menguat Setelah Data Inflasi AS Lebih Rendah Dari Ekspektasi
TikTok Diblokir Mulai 19 Januari 2025, Pengguna AS Beralih
WTO Buktikan Uni Eropa Diskriminasi Minyak Sawit Indonesia
Daftar 10 Saham Blue Chip 2025 Terbaru
Openspace Himpun Dana US$165 Juta, Siap Perluas Investasi Startup
Suspensi Saham RATU Resmi Dicabut, Jadi Top Gainers