Jakarta, FORTUNE - Perekonomian Indonesia pada triwulan-III 2022 tumbuh cukup ekspansif 5,72 persen year-on-year (yoy). Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono, mengatakan hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejumlah indikator perkonomian yang membaik selama periode Juli–September.
Dilihat berdasarkan komponen pengeluarannya, kontributor terbesar perekonomian Indonesia masih dari sektor konsumsi rumah tangga yang distribusinya mencapai 50,36 persen. Sepanjang triwulan ketiga, komponen pengeluaran ini masih mampu tumbuh 5,39 persen meski dibayangi inflasi komoditas energi.
Margo menyebut peningkatan mobilitas masyarakat, kenaikan aktivitas belanja, serta besarnya bantuan pemerintah untuk menjaga daya beli sebagai pendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Peningkatan mobilitas masyarakat, misalnya, tecermin dari perkembangan wisatawan mancanegara (wisman) melalui pintu utama yang tumbuh sangat tinggi, yakni 10.746,29 persen yoy serta rata-rata tingkat penghunian kamar (TPK) hotel berbintang yang tumbuh 21,03 persen yoy.
"Jadi, mobilitas masyarakat pulih dan adanya pelonggaran syarat perjalanan ini menyebabkan wisman tumbuh sangat tinggi," katanya.
Kemudian, dalam hal kenaikan aktivitas belanja, masyarakat kelas menengah ke atas juga mulai lebih ekspansif mengeluarkan uangnya.
"Konsumsi rumah tangga mampu tumbuh karena adanya peningkatan aktivitas belanja pada kelompok masyarakat menengah atas khususnya untuk kebutuhan tersier. Jadi, ini indikasi baik pada menengah atas. Tentu saja kalau ini meningkat terus konsumsinya akan berpengaruh besar pada kelompok lainnya," ujarnya.
Dari sisi bantuan pemerintah, terlihat pantulan realisasi bantuan sosial dan subsidi energi yang cukup tinggi pada periode Juli–September.
Realisasi program perlindungan sosial misalnya, tumbuh 12,46 persen yoy. Sementara, peningkatan realisasi subsidi mencapai 111,96 persen. "Jadi, ini adalah respons pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat ditandai dengan dua indikator sangat dominan yaitu perlinsos dan subsidi BBM," kata Margo.
Di luar hal tersebut, peningkatan konsumsi juga ditandai dengan indeks penjualan eceran riil yang tumbuh 5,52 persen yoy; pinjaman konsumsi yang tumbuh 7,93 persen; serta nilai transaksi uang elektronik—kartu debit dan kredit—yang tumbuh 12,30 persen
"Dari sisi demand juga ditandai dengan adanya kenaikan konsumsi listrik baik segmen industri maupun bisnis. Untuk segmen industri itu tumbuhnya 10,64 persen. Sedangkan segmen bisnis tumbuh 21,50 persen," tuturnya.
Investasi
Komponen pengeluaran lain yang juga turut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah investasi atau penanaman modal tetap bruto (PMTB). Komponen yang memiliki distribusi 28,55 persen terhadap PDB ini mengalami pertumbuhan sebesar 4,96 persen.
Jika dilihat berbagai indikator penunjangnya, kata Margo, investasi yang tumbuh positif triwulan III lalu didorong oleh belanja barang modal non bangunan serta realisasi investasi baik yang berasal dari PMA maupun PMDN. "Di samping itu, pertumbuhan modal pemerintah juga menguat baik untuk mesin maupun peralatan," tambahnya.
Ekspor-impor
Selain konsumsi rumah tangga, komponen pengeluaran ekspor—yang distribusinya terhadap PDB mencapai 26,23 persen—juga tumbuh cukup signifikan, yakni 21,64 persen.
Menurut Margo, hal ini bertaut dengan pertumbuhan ekonomi triwulan III negara mitra dagang seperti Tiongkok yang tumbuh 3,9 persen, Amerika Serikat 1,8 persen, Singapura 4,4 persen, Vietnam 13,7 persen, Taiwan 4,1 persen, dan Uni Eropa 2,4 persen.
"Tentu ini akan berpengaruh pada perdagangan kita. Karena, bagaimanapun, kita ekonomi terbuka. Sangat tergantung pada perkembangan ekonomi mitra dagang kita. Dan ini selama kuartal ketiga menunjukkan angka pertumbuhan di semua negara dan tertinggi di Vietnam," jelasnya.
Di sisi lain, neraca perdagangan Indonesia pada triwulan ketiga surplus US$14,92 miliar, tumbuh 12,58 persen dibandingkan dengan triwulan III-2021.
"Kalau diperhatikan surplus tersebut berasal dari ekspor beberapa komoditas unggulan. Pertama, batu bara di kuartal III itu tercatat US$13,31 miliar. Kemudian, kelapa sawit mencapai US$8,9 miliar dan besi dan baja mencapai US$6,38 miliar," katanya.
"Ekspor tumbuh lebih tinggi dibandingkan triwulan III-2021. Ini karena windfall masih terus berlanjut meskipun mengalami penurunan. Dan juga kunjungan wisman melonjak signifikan. Ini berpengaruh pada ekspor jasa," ujarnya
Meski demikian, perlu dicatat bahwa impor, sebagai pengurang PDB—yang memiliki distribusi -21,65 persen—mencatat pertumbuhan lebih dari ekspor, yakni 22,98 persen.
"Peningkatan impor didorong meningkatnya barang modal dan bahan baku produksi. Jadi, meskipun impor tinggi, ini menunjukkan bahwa ekonomi kuartal ketiga menunjukkan pemulihan menguat," kata Margo.
Konsumsi Pemerintah dan LNPRT
Meski berbagai komponen pengeluaran menunjukkan pertumbuhan signifikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi, belanja atau konsumsi pemerintah—yang distribusinya 7,57 persen terhadap PDB—mengalami kontraksi -2,88 persen.
Hal ini disebabkan, antara lain, adanya penurunan realisasi belanja barang dan jasa dari APBN, serta kenaikan komponen PNBP lainnya—yang menjadi faktor pengurang konsumsi pemerintah.
Pun demikian, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT)—dengan distribusi sebesar 1,15 persen terhadap PDB—masih tumbuh 6,09 persen.