Jakarta, FORTUNE - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, menjawab pertanyaan Presiden Joko Widodo soal hitung-hitungan kebijakan hilirisasi Indonesia yang dianggap menguntungkan Cina.
Pertanyaan tersebut sebelumnya disampaikan Jokowi usai menjajal LRT Jabodebek bersama sejumlah seniman dan selebriti Tanah Air, Kamis (8/11). Jokowi menilai tudingan Faisal soal hilirisasi menguntungkan Cina yang disampaikan dalam diskusi bertajuk 'Menolak Kutukan Deindustrialisasi" beberapa waktu lalu tidak berdasar.
"Hitungan dia bagaimana? Kalau hitungan kita, contoh saya berikan nikel. Saat diekspor mentahan setahun kira-kira hanya Rp17 triliun. Setelah masuk ke industrial downstreaming, ada hilirisasi, menjadi Rp510 triliun,” katanya saat menjawab pertanyaan wartawan di Stasiun Dukuh Atas.
Menurut Jokowi, dengan mengacu pada data itu saja, jelas bahwa negara bisa mendapatkan pajak yang lebih besar dari hilirisasi nikel.
“Bayangkan saja. Kalau kita ambil pajak dari Rp17 triliun sama yang dari Rp510 triliun besar mana? Karena dari situ, dari hilirisasi, kita akan dapatkan PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalti, bea ekspor, Penerimaan Negara Bukan Pajak, semuanya ada di situ. Coba dihitung saja, dari Rp17 triliun sama Rp510 triliun besar mana?” katanya.
Sebaliknya, menurut Faisal, angka-angka yang disampaikan Jokowi justru tidak jelas sumber dan hitung-hitungannya. Dalam sebuah tanggapan yang dia sampaikan pada laman blog pribadinya, Faisal menjelaskan bahwa jika berdasarkan data 2014, nilai ekspor bijih nikel (kode HS 2604) hanya Rp1 triliun. Ini didapat dari ekspor senilai US$85,913 juta dikalikan rerata nilai tukar rupiah pada tahun yang sama, yaitu Rp11,865 per US$.
"Lalu, dari mana angka Rp510 triliun? Berdasarkan data 2022, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) yang diklaim sebagai hasil dari hilirisasi adalah US$27,8 miliar. Berdasarkan rerata nilai tukar rupiah tahun 2022 sebesar 14.876 per US$, nilai ekspor besi dan baja (kode HS 72) setara dengan Rp413,9 triliun," tulis Faisal.
Faisal memang mengakui, terlepas dari perbedaan data darinya dari dari Jokowi, Indonesia memang mengalami lonjakan ekspor dari hasil hilirisasi, yakni hingga 414 kali lipat. Namun, dia ragu jika devisa hasil ekspor tersebut mengalir ke Indonesia. Sebab, hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh Cina dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.
"Maka adalah hak perusahaan Cina untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," ujarnya.
Perlakuan khusus buat nikel
Menurut Faisal, perlakuan terhadap ekspor komoditas nikel berbeda dari ekspor sawit dan turunannya yang dikenai bea keluar, serta pungutan berupa bea sawit.
"Untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya. Jadi, penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," katanya.
Kemudian, jika keuntungan perusahaan sawit dan olahannya dikenai pajak keuntungan perusahaan (PPh Badan), hal tersebut menurutnya tidak berlaku pada perusahaan smelter nikel yang menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
"Jadi, nihil pula penerimaan pemerintah dari laba luar biasa yang dinikmati perusahaan smelter nikel," sebutnya. "Apakah perusahaan smelter Cina tidak membayar royalti? Tidak sama sekali. Yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel yang hampir semua adalah pengusaha nasional. Ketika masih dibolehkan mengekspor bijih nikel, pemerintah masih memperoleh pemasukan dari pajak ekspor," kata Faisal.
Faisal juga menegaskan bahwa kebijakan industrialisasi patut didukung sepenuhnya. Namun, dia menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang.
"Hilirisasi ugal-ugalan seperti yang diterapkan untuk nikel sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional. Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh Cina dan mendukung industrialisasi di Cina, bukan di Indonesia," ujarnya.