Faisal Basri Ungkap Bahayanya Struktur Industri Indonesia

Pemerintah disebut tak punya strategi industrialisasi.

Faisal Basri Ungkap Bahayanya Struktur Industri Indonesia
Ekonom Senior Faisal Basri. (Doc: Kementerian ESDM)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Faisal Basri, mengungkap kelemahan struktur industri Indonesia. Salah satunya adalah kurangnya diversifikasi industri pengolahan non-migas.

Ia menyebutkan dua jenis industri, yakni makanan dan minuman (mamin) serta kimia, farmasi dan botani memegang kontribusi hampir 50 persen—per 2022. 

Industri mamin sendiri memiliki kontribusi 38,3 persen, sementara industri kimia, farmasi, dan botani menyumbang 11,00 persen.

"Dua jenis industri hampir 50 persen,  jadi sangat tidak terdiversifikasi. Sangat bergantung pada sedikit komoditas. Kalau tiga komoditas, tiga jenis industri, 58,2 persen. Kalau empat jenis industri menyumbang dua per tiga dari total industri (67 persen)," ujarnya dalam seminar bertajuk Menolak Kutukan Deindustrialisasi, Selasa (8/8).

Dalam paparannya, terdapat lima jenis dengan kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Selain industri mamin dan kimIa, farmasi dan botani yang menyumbang 49,4 persen, ada industri komputer, produk optikal dan peralatan elektronik serta industri alat transportasi yang kontribusinya masing-masing 8,8 persen. 

Kemudian, ada industri tekstil dan pakaian jadi yang memberikan sumbangsih 6,3 persen. Jika digabung, kelima jenis industri tersebut berkontribusi hingga 73,2 persen. 

"Kalau ada apa-apa pada sawit, misalnya kelenger industrinya. Ini bahayanya, atau mungkin tidak ada perhatian di tempat-tempat lain, tapi tidak terdiversifikasi," ujarnya.

Tidak ada strategi industrialisasi

Selain itu, kerentanan pada struktur industri Indonesia juga terlihat dari besarnya impor bahan baku penolong (intermediate goods) untuk industri. Artinya, terdapat kekosongan pada industri antara yang menyuplai bahan baku untuk hilir dan menjadi offtaker barang produksi industri hulu.

Berdasarkan data BPS pada Januari hingga April 2023, komposisi impor bahan baku penolong mencapai 74,5 persen dari total impor Indonesia. Sementara, impor barang modal hanya mencapai 16,8 persen dan barang konsumsi 8,7 persen.

"[Itu] mencerminkan di tengahnya kosong. Kita punya industri di hulu dan hilir, tapi tengah-tengahnya enggak ada," ujarnya.

Menurutnya, pemerintah harusnya memberikan insentif besar untuk industri antara untuk mengurangi ketergantungan atas impor bahan baku penolong. Sebab jika tidak demikian, struktur industri Indonesia akan terus-menerus rapuh. 

Ini juga terlihat dari sumbangan industri manufaktur terhadap penerimaan pajak yang terus menurun.

Dalam kurun 2017 hingga 2023, kontribusi sektor ini terhadap penerimaan pajak berturut-turut mencapai 32 persen, 30 persen, 29 persen, 30 persen, 29 persen dan 27 persen (hingga semester I-2023). 

"Sayangnya tidak ada strategi industrialisasi, yang ada adalah kebijakan hilirisasi," katanya.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024