Jakarta, FORTUNE - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pemerintah terus melakukan kalibrasi atas berbagai kebijakan fiskal di tengah tengah ancaman pelemahan perekonomian global. Pasalnya, kebijakan fiskal sebagai instrumen untuk mengelola perekonomian harus responsif dengan berbagai dinamika yang sedang berlangsung.
Salah satu kebijakan itu menyangkut pajak atas bea keluar produk hilirisasi nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) yang hingga kini masih dibahas antar kementerian/lembaga.
"Karena itu kebijakan sisi fiskal apakah itu revenue, pajak, termasuk PPN maupun belanja pembiayaan semuanya bersifat responsif maupun sudah ada undang-undangnya," ujarnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Senin (8/5).
Menurut Sri Mulyani, inflasi yang tinggi dan kebijakan suku bunga agresif di negara-negara maju membuat pelemahan ekonomi global diperkirakan bakal bertahan untuk satu–dua kuartal mendatang. Dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap harga-harga komoditas ekspor Indonesia, tidak terkecuali nikel.
"Dengan pelemahan tadi, inflasi tinggi dan suku bunga yang bertahan relatif tinggi di negara maju, maka mungkin commodity price mengalami koreksi. Ini rambatannya ke ekonomi nasional kita mulai terasa. Tadi harga komoditas batu bara, nikel, semuanya mengalami koreksi," katanya.
Karena itu, hingga saat ini Kementerian Keuangan dan KSSK terus memantau dan mewaspadai perkembangan kebijakan atas inflasi dan suku bunga di negara-negara maju. Ditambah lagi, terdapat risiko baru berupa potensi gagal bayar utang AS karena belum adanya kesepakatan antara parlemen dan pemerintahan Presiden Joe Biden untuk meningkatkan batas utang.
"AS sebagai negara ekonomi terbesar, kondisi yang dihadapi, inflasi tinggi dan perbankan yang mereka kemudian mengalami dampak akibat policy-nya. Mereka sekarang dihadapkan pada sisi fiskalnya, yaitu dengan adanya cap dari utang yang belum mengalami settle antara Kongres dan pemerintahnya. Ini yang memberikan ketidakpastian terhadap skala policy-nya," ujarnya.
Kinerja APBN
Sri Mulyani juga mengatakan APBN 2023 dirancang sangat konservatif, tapi tetap memberikan ruang yang memadai untuk berperan sebagai shock absorber di tengah dinamika perekonomian global yang masih dibayangi ketidakpastian,.
Hingga kini, kinerja penerimaan APBN juga masih sesuai target meskipun dihadapkan dengan tren moderasi harga komoditas global.
"Pemerintah masih akan mengoptimalkan peran APBN sebagai peredam gejolak global untuk menjaga momentum percepatan pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya.
Guna mengatasi gejolak harga pangan pada awal 2023, berbagai upaya pengendalian harga terus dilakukan bersama-sama dengan BI. Pemerintah juga melakukan perluasan program perlindungan sosial. Bantuan yang diberikan berupa beras bagi 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Selain itu, untuk membantu masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan gizi, khususnya protein, diberikan bantuan berupa paket daging ayam dan telur bagi 1,4 juta KPM dengan balita stunting.
Alokasi anggaran Rp8,2 triliun untuk bantuan pangan tersebut akan disalurkan pada Maret–Mei 2023.