Jakarta, FORTUNE - Harga minyak melonjak tiga persen usai Iran menembakkan rudal balistik ke Israel pada Selasa (2/10). Aksi yang dilakukan untuk membalas Israel atas serangan terhadap petinggi Hisbullah, aliansi Iran di Lebanon, tersebut meningkatkan ketegangan di Timur Tengah yang dikhwatirkan mengganggu pasokan minyak global.
Reuters melansir harga minyak mentah Brent naik US$1,08, atau 1,47 persen menjadi US$74,64 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik US$1,12, atau 1,6 persen, menjadi US$70,95 pada pukul 06.50 GMT atau sekitar 13.50 WIB.
Sebelumnya, pada perdagangan kemarin, dua harga minyak acuan tersebut telah meningkat sebesar 5 persen.
Dalam serangannya ke Israel, Iran disebut melepaskan sedikitnya 180 rudal balistik. Bunyi sirene menggema di seluruh negeri, termasuk Yerusalem dan lembah Sungai Yordan. Warga Israel yang panik berebut tempat berlindung ketika serangan dilancarkan Iran. Reuters melaporkan bahwa tidak ada korban jiwa dari pihak Israel, sedangkan satu orang tewas di wilayah Tepi Barat.
Pada Rabu (2/10) pagi, Iran mengatakan serangan rudalnya terhadap Israel telah berakhir kecuali ada provokasi lebih lanjut. Namun, AS selaku sekutu Israel, berjanji membalas Iran karena kekhawatiran akan perang yang lebih luas. Seorang pejabat AS mengatakan akan bekerja sama dengan sekutu lama Israel untuk memastikan Iran menghadapi "konsekuensi berat" atas serangan kemarin.
Sementara itu, di Laut Merah, kelompok lain yang didukung Iran, Houthi di Yaman, mengeklaim bertanggung jawab atas setidaknya satu dari dua kapal yang rusak di lepas pantai pelabuhan Hodeidah. Houthi telah meluncurkan serangan terhadap pengiriman internasional di dekat Yaman sejak November lalu sebagai bentuk solidaritas dengan warga Palestina dalam perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza
"Dalam kasus eskalasi, proksi Iran, pemberontak Houthi dan paramiliter Irak, mungkin melancarkan serangan terhadap produsen minyak di Timur Tengah, terutama Arab Saudi," kata Tamas Varga, seorang analis di PVM, perusahaan pialang dan konsultan yang merupakan bagian dari TP ICAP.
"Saat ini ada ketakutan yang nyata bahwa pasokan minyak akan terdampak, dan perdagangan yang tegang serta bergejolak diperkirakan akan terjadi sampai gambaran situasinya menjadi jelas," ujar Varga.
Pertemuan OPEC+
Sebelum berita bahwa Iran merencanakan serangan rudal, pasar minyak diperdagangkan mendekati level terendah dalam dua pekan terakhir. Itu terjadi menyusul prospek peningkatan pasokan dan pertumbuhan permintaan global yang lesu lebih besar ketimbang kekhawatiran atas eskalasi konflik di Timur Tengah, juga dampaknya terhadap ekspor minyak mentah dari wilayah tersebut.
Kini, kekhawatiran utama pasar minyak adalah kemungkinan serangan balasan terhadap fasilitas minyak Iran oleh Israel, yang dapat mendorong harga minyak mentah naik secara signifikan.
Iran termasuk di antara 10 produsen minyak terbesar di dunia, dengan produksi mencapai lebih dari 3,3 juta barel per hari pada Agustus — tertinggi dalam lima tahun terakhir, menurut Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Iran mengekspor setengah dari produksinya, yang mewakili sekitar 2 persen dari pasokan global.
Selain itu, meningkatnya konflik militer antara Iran dan Israel dapat menyebabkan diberlakukannya kembali sanksi AS terhadap ekspor minyak Iran, yang akan semakin meningkatkan harga minyak.
Menurut warta Euronews, Josh Gilbert, analis pasar eToro, mengatakan: "Ini jelas memberikan dukungan jangka pendek bagi minyak, terutama jika ketegangan geopolitik ini semakin meningkat."
Kini, pasar tengah pertemuan online OPEC+ yang akan datang pada pukul 12 siang GMT atau 19.00 WIB. Kelompok negara-negara pengekspor minyak ini diperkirakan tidak akan membuat perubahan pada rencana saat ini untuk memotong produksi sebesar 5,86 juta barel per hari, meskipun sumber-sumber menyebutkan bahwa mereka mungkin akan mencabut pemotongan tersebut mulai Desember, menurut laporan Financial Times.
Organisasi ini sebelumnya telah sepakat untuk meningkatkan produksi gabungan sebesar 180.000 barel per hari mulai Desember sebagai bagian dari rencana untuk meningkatkan pasokan pada 2025.
Di tengah melonjaknya produksi AS dan turunnya harga minyak, OPEC+ berada di bawah tekanan akibat penurunan pangsa pasar dan profitabilitas.
Sementara itu, pemotongan produksi sukarela belum sepenuhnya dipatuhi oleh negara-negara anggota, dengan negara-negara seperti Iran dan Kazakhstan gagal memenuhi komitmennya.
Kedua negara ini melebihi kuota dan telah berjanji untuk memberikan kompensasi dengan pemotongan sebesar 123.000 barel per hari pada September dan Oktober. Hingga pemotongan kompensasi ini terpenuhi, OPEC+ tidak mungkin meningkatkan produksi.
Namun, situasi ini juga menyoroti peran penting Iran dalam memengaruhi tren pasar minyak. Setiap eskalasi lebih lanjut dalam ketegangan geopolitik dapat kembali mendorong harga minyak naik, yang pada akhirnya memperumit prospek inflasi global.