Jakarta, FORTUNE - Pemerintah terus mengkaji skema subsidi tepat sasaran untuk mengantisipasi over quota penyaluran Pertalite ketika harga minyak tinggi akibat konflik Israel-Iran.
Pasalnya, menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, jika harga minyak mentah melambung akibat kondisi geopolitik, harga BBM non-subsidi ikut terkerek dan konsumen akan cenderung beralih ke Pertalite.
"Ini sedang dilakukan kajian agar BBM yang bersubsidi itu tepat sasaran. Ditentukan siapa sih yang berhak sesuai dengan kemampuan ekonomi dan berapa sih mereka tuh dengan tingkat seperti itu konsumsinya berapa. Itu yang sedang dikaji," ujarnya di Kementerian ESDM, Jumat (4/10).
Meski demikian, menurut Agus, pemerintah telah menganggap lumrah fluktuasi harga minyak, dan telah berkali-kali pula menghadapinya. Pasalnya, di luar urusan pasokan dan permintaan, harga minyak memang sering kali dipengaruhi tensi geopolitik—terutama di Timur Tengah.
"Komoditas biasa hanya suplai-demand. Kalau minyak itu belum terjadi shortage saja sudah menghawatirkan," katanya.
Menteri ESDM telah menetapkan harga Indonesia Crude Price (ICP) untuk September 2024 sebesar US$72,54 per barel, atau turun US$5,96 dari bulan sebelumnya yang mencapai US$78,51 per barrel.
Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 353.K/MG.03/DJM/2024 tentang harga minyak mentah Indonesia, September 2024.
Penurunan harga patokan itu dipengaruhi oleh penurunan harga minyak mentah global, terutama karena pelemahan permintaan dari Tiongkok. Menurut Agus, sentimen negatif pasar terhadap perekonomian Tiongkok berpengaruh pada penurunan permintaan minyak mentah pada bulan lalu.
"Caixin Purchasing Managers' Index (PMI) Jasa Tiongkok pada bulan September 2024 mengalami penurunan lebih tajam dari estimasi pasar, menjadi 51,6," ujarnya dalam keterangan resmi.
Selain itu, kapasitas pengolahan minyak dari 35 kilang di Tiongkok juga turun 0,9 persen month-on-month (mom) pada September 2024, menjadi 80,8 persen dari total kapasitas 8,4 juta barel per hari.
Agus mengatakan harga rata-rata minyak mentah utama dunia juga turun dibandingkan dengan Agustus 2024. Faktor lainnya termasuk stabilnya ekspor dan produksi minyak Libya setelah persetujuan penunjukan pimpinan Bank Sentral Libya, serta ekspor minyak Irak yang mencapai titik tertinggi dalam delapan bulan terakhir.
"Ekspor Irak mencapai titik tertinggi selama 8 bulan terakhir, di tengah komitmen untuk mematuhi kuota penurunan produksi OPEC+," kata Agus.
Di samping itu, proyeksi pertumbuhan permintaan minyak global untuk 2024 juga mengalami penurunan. OPEC menurunkan estimasi permintaan sebesar 80.000 barel per hari (bph), menjadi 2 juta bph dalam publikasi September 2024, dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Sementara itu, International Energy Agency (IEA) melaporkan bahwa pasokan minyak dunia pada Agustus 2024 naik 80.000 bph mom, menjadi 103,5 juta bph. OPEC juga merevisi estimasi pasokan non-OPEC+ naik sebesar 70.000 bph, menjadi 53,07 juta bph untuk 2024.
Di kawasan Asia Pasifik, penurunan harga minyak juga dipengaruhi oleh turunnya tingkat pengolahan kilang di Taiwan, dari 760.000 bph (69,7 persen kapasitas) pada akhir Agustus 2024 menjadi 580.000 bph (53,2 persen kapasitas) pada akhir September 2024.